Hati nampaknya memang menjadi barang yang begitu mudah untuk dibolak-balikkan. Tidak masalah jika pelakunya adalah Yang Maha Kuasa, Pemilik Alam Semesta. Akan tetapi, jika engkau bertindak dengan suka-suka, siapakah korban selanjutnya.
Ambil dan buang begitu saja. Habis manis sepah dilepeh. Betapa mengutamakan diri engkau sendiri kelakuan itu. Pantaskah engkau terus berbuat seperti ini?
“Memangnya masih ada kesempatan?” Engkau terus bertanya. Ujarmu, engkau hendak menjadi orang yang paling istimewa. Tuturmu, engkau mau berubah menjadi orang yang dapat dibanggakan.
“Engkau ingin dicinta.” Aku berkata. Mimpi kita sama. Tangan kita bertaut dan momen itu segera menjadi nyata.
“Aku ingin bertahan, aku ingin mencinta.” Dirimu membalas. “Seperti inilah yang bisa aku lakukan. Hidupku sebagaimana seharusnya.”
Malam kembali tiba, seakan menghendaki akan dijelajah padanya. “Apa yang mungkin bisa salah?” Kita menyoal. Engkaulah yang memegang kendali di malam ini.
“Apakah ini cinta nyata?” Siapa yang tahu makna sesungguhnya. Dialah yang menjadikan cinta agar tidak membutakan manusia seluruhnya. Derai air mata tidak lagi terbendung menghayati kehidupan yang sedang terlaksana.
Dirimukah yang memulai semua? Engkau memainkan sandiwara ini layaknya sang sutradara. Jika memang engkau orangnya, maka berikan aku kasih sepenuhnya. Penuhi dada dengan sebuah rasa yang tiada duanya.
Mengingat dahulu seorang di dalam ruangan. Pertanyaan di ujung lidah pun seakan tidak sanggup untuk ditanyakan. Syarat untuk menjadi istimewa belum dapat terjawab dalam waktu dekat. Mimpi ini belum akan menjadi kenyataan juga.
Rasa sakit ini, manusia hanya dapat bertahan. Nampaknya kidung akan terus perlu disenandungkan. Kalau pada akhirnya tidak dapat diingat lagi, tidak perlu lagi terucap kata-katanya.
Sesuatu yang perlu kita ketahui. Sesuatu yang dapat kita pahami. Janji dan rahasia seolah sejalan. Akankah dapat merasakan kepuasan? Tawakan saja dengan suara serak.
Ajaklah aku ke dalam mimpi yang melayang. Meski pada akhirnya engkau membiarkanku terlelap.
“Inilah yang kuperbolehkan. Apakah tidak apa jika aku mencintaimu?”
Meski senandung kidung ini sumbang, masihkah engkau memikirkan kepadaku sekarang? Biasa saja dalam kesendirian. Kidung ini untuk siapa sebenarnya?
Sandiwara ini telah menjadi kegilaan. “Sudah cukup.” Sang manusia lelah. “Berikan saja cintamu.”