Sang manusia disambut oleh cahaya putih yang menyilaukan mata. Pada akhirnya, ia memandang sebuah ruangan yang tidak lagi asing. Kamar tidurnya.
“Semua hanya mimpi.” Suaranya lemah.
Hari-harinya kembali dijalani sebagaimana biasa. Dia memandang kalender yang tertancap di dinding kamar. Ada satu tanggal yang terdapat tanda lingkar merah padanya, menandai sebuah hari penting.
“Penjelajahan bermula.”
Matanya memandang tanda itu cukup lama. Mencoba mengingat tentang kegiatan apa yang akan dia laksanakan. Di bawah kalender itu terdapat sebuah ransel yang berisi beragam barang, sudah siap untuk diletakkan di punggung.
Hari itu dia akan berkelana. Hari itu dia akan melangkahkan kaki keluar rumah untuk memandang alam semesta. Dia akan bertualang menuju sebuah tempat yang jauh di sana.
Dia nampaknya sudah merencanakan perjalanan itu jauh-jauh hari. Dia akan pergi.
Setibanya di tujuan, dia merasakan satu perasaan aneh. Memang, dia tiba di hari yang menjelang matahari saat paling terik. Namun, tempat itu seakan dia begitu kenal.
Dia memakai alas kaki terbaik seakan merasakan sentuhan tanah di telapak kakinya. Dia tahu betul jalan setapak yang dia injak. Padahal, ini baru kali pertama dia berada di tempat itu. Sebelumnya, sang penjelajah ini telah pergi ke tempat yang beragam.
Dia ingin memastikan bahwa memang tempat itu adalah tempat yang pernah dia lihat meski belum pernah berkunjung ke sana. Dia mulai menapaki jalan itu dan membiarkan langkahnya membawa entah ke mana.
Dia menemukan sebuah benda yang tidak asing baginya, tetapi penuh dengan perbedaan. Sebuah pintu putih yang berada di tengah antah berantah. Berbeda dengan apa yang dia lihat dalam tidurnya, catnya mulai usang dan terlihat bekas tetesan air hujan yang mengalir di papan pintu itu. Disentuh secara perlahan pun terasa jelas betapa lapuk kayu yang membangun benda itu.
Dia membukanya.