Tidak lama setelah sang manusia terpejam, dia kembali di hadapan ke tempat yang sama. Kini, keyakinannya semakin penuh bahwa tempat yang dia berada sekarang dalam dunia mimpi sama dengan yang dia datangi di dunia nyata.
Suara hatinya terdengar menggaung. “Aku sudah mendatangi tempat ini di kedua dunia. Sekarang apa?”
Rasa manusiawi. Mungkin itu yang ingin didapatkan. Frustasi di kepalanya kian memuncak.
“Aku tidak ingin di sini lagi.” Nada suara hatinya pun terdengar lemah.
“Adakah cara untuk lari dari sini?”
Pintu itu kembali di pandang. Keajaiban pintu itu telah sirna. Penanda di pintu sekarang tiada.
“Bangun.”
Dia sadar itu masih mimpi. Dia hanya belum bisa mengendalikan kapan bisa bangun serta hal semacamnya. Atau memang tidak bisa diatur sekehendak kemauannya.
“Apa lagi yang perlu aku lakukan?”
Dia mulai mencari petunjuk di sekitar. Pintu itu memang belum menunjukkan keajaibannya, tetapi tetap dia buka. Alih-alih dapat terbuka sepenuhnya sebagaimana mimpi terdahulu dan penemuan di dunia nyata, pintu itu terjebak di tengah-tengah sehingga masih separuh tertutup.
Celah pintu yang terbuka cukup untuk sang manusia masuki secara menyamping. Meja itulah yang menghalangi. Dia menyentuhnya. Kini strukturnya tidak lagi lapuk. Tentu, jika masih lapuk, meja itu bisa saja hancur seiring sang manusia mendorong pintu dengan sekuat tenaga.
Dari situlah dia mulai menyadari ada beberapa perbedaan dengan kali terakhir mendapati mimpi dan kenyataan yang sama. Dia terpikir untuk memeriksa ke laci di bawah meja. Dia menemukan barang itu. Sebuah buku dengan sampul keras berwarna putih polos dan tiada isi di dalamnya.
Kali ini, sang manusia akan membuat perubahan kecil. Alih-alih melemparnya dengan perasaan hina, dia akan membawanya dengan rasa bangga.