arrow_back

Cantaloupe

arrow_forward

Ketika sang manusia memandang isi kamarnya, rasa hening lagi terangkatnya beban dari pundak begitu kuat. Kini dia mulai mengerti apa cerita yang sedang dibawakan.

Dia membuka laci meja dekat kasurnya untuk mengambil sebuah benda. Buku kosong sungguhan yang dia dapatkan, akan segera ia isi dengan curahan pemikirannya

“Jika tanpamu, aku akan tersesat.” Dia menuliskan kalimat pertama yang diucapkan dalam mimpi pertama itu pada lembaran awal dengan penuh penyesalan.

“Mengapa aku berterima kasih terhadap hal yang sebenarnya tidak memberiku kebaikan.”

Sang manusia mulai menyadarinya. Kunang-kunang yang dia dapati itu tidak membawanya keluar dari tempat asing yang belum pernah dia kunjungi. Alih-alih, mereka membawa sang manusia menuju kesesatan yang lebih dalam, siap untuk memerangkap lagi menangkap dirinya ke dalam mimpi untuk selamanya.

“Aku seharusnya berterima kasih kepada Sang Pencipta, Yang Memberi Petunjuk pada sesungguhnya.”

Dia beralih menuju kalimat berikutnya. “Bangun dari mimpi, menjadi orang lain atau bahkan kembali menjadi anak-anak.”

“Aku hanya membayangkan sesuatu yang tidak mungkin.” Sang manusia menyesali lagi ucapannya yang semena-mena.

“Siapa yang menaruhnya di sini?” “Mungkin dengan membukanya, aku akan tahu.” Tanya jawab yang terjadi dalam pikirannya sendiri pada saat itu dia rasa telah memberi petunjuk.

Manusia itu beruntung atas tidak terjadinya sifat pepatah. Rasa penasaran membunuh kucing. Dia masih hidup dan menjelajah dunianya sendiri.

“Aku ingin dicinta.” Seolah menjadi tujuan utama.

“Ampuni aku.” “Aku akan menjadi orang yang lebih baik.” Sebuah dekrit kunci dari semua. Sang manusia mulai membentuk sebuah harapan baru lagi murni dari awal. Dia menginginkan kembali ke pangkuan Sang Pencipta dengan keadaan terbaik.

“Aku ingin kembali ke masa lalu.”

“Aku seharusnya fokus dengan masa depan saja.” Hal itu kemudian sang manusia buktikan dengan terus mencurahkan isi pikirannya pada lembaran baru buku itu.

Komentar