arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

1 Maret – Aku baru tahu ada Kota Dingin, padahal terletak di timur rumahku. Mumpung Firdaus masih di rumahku, aku mengajaknya untuk pergi bersama. Dia berpikir sebentar, melihat jam, kemudian memutuskan untuk ikut.

“Apakah kamu pernah ke kota itu?” ucapku sambil melepas jubahku.

“Pernah, tapi dibawa ayahku saat kecil. Tepat pada hari dimana meninggalnya ibu dan kakakku. Mungkin ayah mau menghiburku.”

“Berarti aku saja yang belum.”

“Tidak juga. Aku ikut karena sudah lama tidak ke sana.”

Kami memilih untuk berjalan, dengan arah yang sama. Ternyata di taman itu, masih ada beberapa orang termasuk Lily. Dia hanya duduk di salah satu bangku, mengayun-ayunkan kakinya sambil memegang topi bundar seolah itu stir mobil.

Aku menerima saran itu kemudian mendekati Lily. Berakting seolah aku tertabrak oleh mobil imajinya dan membuatnya tertawa. Ada rasa senang yang juga kudapatkan. Dia memasang topinya ke kepala.

Aku melihat Firdaus mendekatiku sehingga aku berinisiatif untuk memperkenalkan diri. “Halo Lily, nama kakak Idris. Ini teman kakak, Firdaus.” Dia hanya diam.

Kami sempat membicarakan beberapa hal dengannya. Intinya dia tinggal di Kota Dingin dan tidak mau ikut dengan polisi atau diasuh di panti. Dia bahkan tidak mau pulang.

“Kamu kan tinggal di Kota Dingin. Kebetulan kakak pengen ke sana, tapi gak tau tempat-tempat bagus. Mau gak ngarahin kakak?”

“Mau!” Paling tidak dengan hal ini, dia kembali ke tempat tinggalnya.


Kota ini dinamai Kota Dingin nampaknya bukan tanpa sebab. Pepohonan rindang yang daunnya rimbun, angin berhembus deras di bawah secercah cahaya. Suasana malam akan sangat berbeda di setapak jalan ini.

Lily dengan percaya dirinya berjalan di depan kami. Sementara halusinasi dan rasa takutku bangkit. Suara semak-semak yang terinjak oleh kakiku sendiri saja sudah mengejutkan.

Kami tiba di pemukiman masyarakat. Mereka lalu-lalang, beraktivitas sebagaimana biasanya, hanya saja tidak ada sambutan dari mereka. Dingin, satu kata menjelaskan apa yang kurasa.

Aku teringat ketika kami di Pantai Pasir Putih. Tanpa mengenal orang-orang di sana, mengikuti permainan voli bukan hal yang canggung. Sambutan masyarakat berbeda-beda adalah pemikiran positif yang kucoba tanam di pikiranku.

“Lily, kamu tinggal dimana?” tanyaku.

Dia tidak mendengarnya namun mulai mengarahkan kami sampai tengah kota. Mereka sepertinya memiliki kereta bawah tanah dan lorong menurun ini adalah satu-satunya jalan menuju ke sana.

Aku menyadari di bawah sini cukup gelap. Cahaya hanya berasal dari lampu yang dipasang dan menurut Lily dimatikan saat malam jika tidak ada kereta yang beroperasi.

Lily berhenti. Aku sangat terkejut saat itu karena apa yang kupandang adalah sebuah penjara kecil berwarna putih.

“Kamu tinggal di sini?” tanya Firdaus.

Emosi Lily yang labil, kini aku tahu sebabnya. Di satu sisi, dia senang memiliki tempat tinggal karena rumahnya telah lama tiada. Namun di sisi yang lain, dia sedih karena hanya dia dan seekor kucing kecil berwarna putih di sini.

“Siapa yang membuatmu tinggal di sini?”

“Semua yang di kota ini.” Bahkan Lily menjawabnya dengan pelan, seperti tidak mau mengatakannya.

Aku melihat jam tanganku, memperingatkan Firdaus untuk pulang. Lily dengan santainya masuk ke dalam penjara kecil itu bersama kucingnya, melambaikan tangan kepada kami. Aku berjanji asalkan Tuhan mengizinkan bahwa kami akan kembali ke sini Ahad depan, dan mengharuskan Lily berada di Winter Garden itu lagi.

Kami mulai pergi meninggalkannya, ada rasa sedih dari diriku namun aku masih bingung bagaimana cara membantunya. Namun di saat belum jauh, kami mendengar suara gemuruh. Aku memandang ke belakang, air dalam jumlah besar mengalir deras tepat menuju tempat tinggal Lily.

Aku hanya berteriak memperingatkannya, namun dia tetap tenang dan berkata, “Aku sudah sering mengalaminya.” Dia menyampaikan dengan mudahnya. Dia sudah tidak gugup, takut, atau gelisah ketika bertemu dengan kami.

Aliran air menghantam keras penjara kecil itu. Aku sangat takut Lily tidak selamat saat itu, dan aku menyalahkan diriku karena tidak bisa melakukan apa-apa. Firdaus memberi harapan padaku, dia menunjuk ke bagian atas dari penjara itu. Tangan kecil Lily naik, meletakkan kucingnya di atas sana, berpegangan dan menjatuhkan diri ketika airnya mulai surut.

Lily memerintahkan agar kucingnya melompat turun, dan dia menangkapnya. Dia masih sempat melambaikan tangan kepada kami, namun kami harus pergi meninggalkannya.

Singkat cerita, kami sampai di atas. “Lihatlah perbedaan di wajah masyarakat!” ucap Firdaus kepadaku.

Aku memandang mereka, mereka nampak bahagia. Kebahagiaan yang tidak terlihat saat kami tiba. “Apakah itu hanya sebuah kebetulan?” tanya Firdaus.

Kami melihat ada dua orang, yang membawa koper menuju arah kami. “Kita harus meninggalkan kota ini sesegera mungkin!” ucap salah satu dari mereka.

Komentar