arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

8 Maret – Aku menepati janjiku dengan kembali ke Kota Dingin dan Firdaus ingin ikut juga kali ini. Aku mendatangi Winter Garden yang sekarang sepi, tapi tetap saja, di bangku yang sama dengan pekan tadi, Lily duduk di sana. Kali ini dia tidak memakai topi bundar itu.

Aku mendekati dan menyapanya. Kali ini dia nampak bahagia. Kami kembali berjalan bersama melalui pepohonan itu.

“Dimana topimu, detektif?” tanyaku kepada Lily sambil tersenyum.

“Hanyut terbawa arus dan aku belum nyari.” Aku sebenarnya berniat untuk menggantinya, tetapi hari ini entah kenapa aku tidak mau memakai jubah dan topi bundar itu.

Kami tiba di pusat kota itu. Masyarakat hanya lalu-lalang, tanpa menyapa satu sama lain. “Dimana sebenarnya kebahagiaan?”

Aku meminta Lily untuk membawa kami ke tempat lain, dimana kami cukup jauh dari lorong menuju kereta bawah tanah ini.

“Mengapa dia membawa kita ke taman bermain?” tanya Firdaus.

“Mungkin dia mendengar pertanyaanmu, dan baginya kebahagiaan bisa didapatkan dari sini.”

Sebuah taman bermain. Lily membawa kami ke sini. Sebuah perosotan berwarna merah, sepasang ayunan dan sebuah jungkat-jungkit. Sederhana, namun Lily menceritakan bahwa dulu dia bersama teman-temannya. Mereka bergiliran untuk menggunakan keterbatasan ini.

Firdaus mengatakan kepadaku bahwa dia menyadari sesuatu dari ucapan Lily barusan. Tidak terlihat adanya anak kecil seumuran dia.

“Dimana teman-temanmu sekarang?” tanya Firdaus.

Firdaus terlihat mulai memedulikan Lily, namun Lily tidak mau menjawab pertanyaannya. Dia hanya berdiri, dan kembali berjalan. Aku sempat heran karena aku tidak meminta hal ini.

Tidak jauh dari taman bermain ini, Lily berhenti di depan sebuah rumah besar. Dia ingin membuka pintu itu namun terkunci. Aku berusaha membukakan namun tidak bisa juga, dan aku tidak mau mendobraknya. Firdaus menyentuh bahuku dan aku sempat kaget.

“Ada apa?” tanyaku.

“Lihatlah ke dalam sebentar.” Firdaus berdiri di depan jendela.

Aku memiliki ide untuk sekuat mungkin menggendong Lily dengan bahuku, agar dia melihatnya juga.

“Apa yang kamu lihat?” Firdaus menjawab dengan menunjuk.

Sebuah kuda-kudaan yang bergerak, permainan papan seperti ular tangga dan monopoli yang masih membentang, mangkok dan piring yang berhamburan.

Lily menjelaskan bahwa dia bersama teman-temannya pernah tinggal di sini, karena ajakan seseorang yang dia tidak kenal. “Orang itu terlihat baik, tetapi setiap hari dia membawa satu temanku dan tidak kembali lagi.”

“Mungkin dia memulangkannya.” Lily masih berusaha untuk berpikiran positif.

“Lalu, kenapa kamu tidak tinggal di sini?” tanyaku.

“Aku gak mau.” Sekarang aku bingung dengan bagaimana keinginan Lily sebenarnya.

Suara keroncongan dari perut Firdaus terdengar. Lily tertawa kecil. “Kamu belum makan?” tanyaku kepada Firdaus. Firdaus tidak menjawabnya.

“Lily, kamu tahu dimana restoran dekat sini?”

Kami berbicara sebentar dan Lily hanya memberitahukan arahnya. Dia berkata bahwa dia akan pulang ke “Rumahnya” di bawah tanah itu dan berusaha untuk menemukan topi itu lagi dan mengembalikannya padaku. Aku menjawab bahwa dia tidak harus melakukannya dan pada saat itu aku benar-benar menyesal karena tidak membawa topi.

Singkat cerita, kami berpisah di sini. Lily pulang sementara aku dan Firdaus menuju restoran. Berharap makanannya bisa dimakan oleh kami.

Kami tiba di restoran yang dimaksud oleh Lily. Bentuk rumah di sini nampak mirip, namun seperti masih bisa dibedakan. Aku masuk terlebih dahulu. Terdengar suara lonceng kecil ketika pintu terbuka.

Seorang pelayan memakai jas biru gelap dan dasi kupu-kupu merah mengantarkan kami ke sebuah meja kemudian menyerahkan buku menu. Entah kenapa, aku teringat kejadian di Kebun Melati dan sekarang aku masih berusaha melupakannya.

“Idris, coba lihat menu di sebelah kiri bawah.”

“Sup manusia? Nama menu macam apa itu?”

“Mungkin itu hanya sebuah brand. Tidak mewakili apa isinya. Contohnya keripik setan. Emang ada setan di dalamnya?”

Kami berbicara dengan suara pelan, berusaha agar tidak terdengar oleh orang lain. Seseorang yang duduk di meja dekat dengan kami melambaikan tangan kepada pelayan, mengisyaratkan dia ingin memesan sesuatu.

“Aku ingin memesan ini,” ucapnya menunjuk buku menu itu.

“Idris, dia menunjuk yang kita lihat barusan.”

“Tenanglah, kita hanya bisa melihatnya nanti.”

Sekarang, aku yang meminta pelayan itu untuk ke tempat kami. Aku menanyakan apa yang ingin Firdaus pesan dan dia memesan sup daging sapi. Letaknya di daftar menu jauh dari sup manusia itu. Kami masih berpikiran positif.

Pesanan datang. Dia pergi ke meja kami terlebih dahulu kemudian ke sebelah kami. Nampaknya orang yang duduk di sana lebih lapar dari kami dan langsung melahapnya. Namun entah kenapa dia langsung menyemburkan sup itu dan memuntahkan –seperti– daging.

“Apa ini?! Ini bukan daging manusia!” Dia nampaknya marah. Dia membalikkan mangkok itu ke arah pelayan kemudian pergi tanpa membayar sepeserpun.

“Eee, Idris. Tidak mungkin kan?” Aku hanya diam memperhatikan pelayan itu.

“Kamu mendengarku ‘kan?” Kali ini aku memandang Firdaus sebentar, mengisyaratkan bahwa aku mendengarnya. Hanya saja aku tidak mau menjawabnya.

Pelayan itu mengambil potongan daging yang masih utuh dari mangkok itu kemudian memakannya. Dia seolah tersadar akan sesuatu. Firdaus yang masih ketakutan menjauhkan mangkok dari tangannya.

Pelayan itu mendekat kepada kami. Mengambil pisau dan garpu kemudian mengambil potongan daging dari mangkok Firdaus. Dia memakannya.

“Makanlah. Itu memang pesanan kalian. Saya hanya menyicipinya karena saya rasa terlupa menaruh bumbu ke dalam daging sapi itu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.”

Pelayan itu pergi –sepertinya– ke dapur membawa mangkok pelanggan sebelah kami tadi. “Ya,Firdaus. Aku tahu apa yang kamu maksud. Setelah kamu menghabiskan itu, kita pulang.”

Komentar