Kami sampai di rumahku. Saat kami duduk di ruang tamu, Firdaus menyerahkan buku yang dia pinjam pekan tadi.
“Terima kasih bukunya, tapi aku kurang paham. Kapan-kapan aku minta diajarin aja.”
“Sama-sama. Nanti kalau sempat aku datang ke rumahmu. Kita sekarang sama-sama sibuk, fokus kepada pelajaran sekolah.”
“Oh ya, bagaimana pendapatmu tentang Kota Dingin?” tanyaku.
“Aku tidak bisa berkata apa-apa. Banyak hal yang janggal kita temukan saat di sana.”
“Ya, tidak kusangka Omelas ada di dunia nyata.”
“Omelas?” Firdaus bertanya. Aku memintanya menunggu sebentar selama aku pergi ke ruanganku untuk mengambil sebuah buku.
“The Ones Who Walk Away from Omelas. Buku oleh Ursula Kroeber Le Guin.” Aku menyerahkan buku itu dan Firdaus membaca sampulnya.
“Tentang apa ini, apa hubungannya dengan Kota Dingin?”
“Buku itu menceritakan tentang Omelas, sebuah kota dimana kebahagiaan mereka berasal dari seorang anak kecil yang terkurung dalam penjara kecil di bawahnya.” Firdaus mulai menyadarinya.
“Untuk Kota Dingin, anak kecil itu Lily. Kita juga melihat secara langsung penjara di bawah kota. Lihatlah perbandingan ketika dia bebas dan terkurung.”
Aku meminta izin untuk melanjutkan penjelasan secara singkat tentang cerita ini dan apa hubungannya dengan Kota Dingin. Firdaus mau mendengarkan sambil menghirup secangkir teh.
“Namun ada orang-orang yang mengetahui dan tidak tahan akan hal ini, sehingga mereka meninggalkan kota itu. Buktinya pasangan yang kita temui di depan lorong itu.”
“Ekspresi masyarakat persis sama. Dingin. Mereka kebanyakannya tidak memedulikan kenyataan yang ada dan tetap melakukan aktivitas seperti biasa.”
“Idris, jika kota itu secara kebetulan sesuai dengan cerita ini, berarti Lily satu-satunya anak kecil di sana?”
“Bisa jadi. Kenapa kamu menganggapnya seperti itu?”
Firdaus terlihat merinding, nampaknya dia ketakutan. Dia menceritakan tentang apa yang dia rasakan saat di taman bermain dan rumah tempat tinggal anak kecil itu.
“Bagaimana kalau sup manusia itu memang daging manusia? Yang berasal dari jasad anak kecil selain Lily?”
Aku mencegah Firdaus dari berpikiran negatif dengan mengatakan bahwa bisa saja teman-teman Lily ikut orang tua mereka pergi ke kota lain.
“Bagaimana kalau orang aneh yang duduk di sebelah kita saat di restoran itu kanibal? Pelayan itu sepertinya juga. Mereka sepertinya tahu rasa manusia. Apalagi pelayan itu mengecek pesananku dengan dalih menyicipi karena merasa lupa bumbu, itupun tanpa izin dariku.”
Aku terdiam dan mulai terpengaruh pikiran negatif itu. “Kota Dingin sepertinya lebih kelam daripada yang baru saja kita ketahui.” Entah kenapa, ini malah menambah semangatku untuk kembali ke kota itu, seolah aku harus mengetahui segalanya.
Kami mulai berdiskusi, membicarakan apakah kami harus kembali ke kota itu atau tidak. Pembicaraan kami berlangsung lama, sampai akhirnya Ahad depan kami kembali ke sana. Niat utama kami adalah mengetahui kemana arah tujuan dari kereta bawah tanah itu.
Jadwal pulang Firdaus aktif kembali. Dia berpamitan denganku sementara aku hanya mengantarkannya sampai ke depan rumah.
Di atas meja ruang tamu ini sudah ada dua buku. Yang baru saja kuambil dan yang Firdaus kembalikan. Aku membawanya ke ruanganku untuk menaruh kepada tempatnya.
Aku duduk di kursiku sebentar. Mencoba memulihkan pemikiran agar kembali positif, mengingat apa yang terjadi saat kami di sana. Aku sekarang agak ketakutan.
“Bagaimana kalau Firdaus benar lagi?”
“Siapa mereka sebenarnya?” Aku menanyakan tentang orang-orang itu.