15 Maret – Sesuai dengan keputusan kami, hari ini kami kembali ke Kota Dingin. Kami juga memutuskan bahwa ini untuk terakhir kalinya. Kali ini, aku membelikan dua tiket mengingat Firdaus ikut dengan tujuan perjalanan Kota Dingin - Kota Harapan - Kota Dingin.
Tanpa ragu, kami langsung memasuki kereta bawah tanah ini, yang sudah siap berangkat dengan tibanya di stasiun. Aku sempat menyangka bahwa kami akan berdua saja, rupanya ada beberapa penumpang lain.
Berjalan di lorong kereta, ada seorang wanita dengan memakai kimono merah muda dan kipas tangan bermotif sakura. Besertanya ada seorang pria muda memakai jas dan sarung tangan putih, dia mengangkat koper hitam berukuran sedang. Wanita itu membisiki sesuatu kepada sang pria.
“Pramugara! Dimana kamar atas nama Nona Fuyumi?!”
Dari ucapan pria itu, kami berasumsi bahwa dia adalah seorang pelayan pribadi bagi Fuyumi sekaligus seorang penerjemah karena mungkin mereka dari Jepang. Kami juga mengetahui bahwa kereta ini juga menyediakan kamar untuk menginap, mungkin terletak di gerbong khusus.
Tiba-tiba, kami dikejutkan oleh sebuah kilatan dan suara pengambilan foto. Pelayan Fuyumi nampak marah karena menyadari orang tepat di belakang kami memotret Fuyumi.
“Hapus foto itu!” ucapnya sambil menggenggam kerah pria di belakang kami. Aku memperhatikan kartu pengenal yang dia taruh di saku agar diketahui orang. Namanya Ryu Jee, sepertinya berasal dari Korea.
“Tenanglah, aku tidak akan menyalahgunakannya.”
“Jangan berkelahi di sini!” ucap seorang pria dengan memakai pakaian serba putih. Dari yang tertera di baju, namanya adalah Andi dan dia adalah pramugara di kereta ini.
“Ini kunci untuk Fuyumi. Bagaimana dengan Anda, Tuan Hayate?”
“Tidak perlu, saya mungkin cukup dengan duduk di sini, bersama penumpang lain.” Pelayan yang bernama Hayate itu mengambil kunci dan mengantarkan Fuyumi ke arah yang ditunjuk Andi.
Aku dan Firdaus duduk di kursi sebelah kiri dekat dengan jendela. Terlihat Jee sedang melihat hasil potretannya. “Astaga nak, topimu menghalangi wajahnya. Berarti aku harus memotretnya sekali lagi. Padahal ini sangat penting nantinya.”
Aku merasa perkataan beliau mengarah kepadaku. “Maaf, saya tidak bermaksud demikian.”
“Ya, tidak apa-apa. Masih ada kesempatan.”
Hayate kembali ke lorong ini, dengan memakai kemeja hitam dan membawa sebotol air mineral. Nampaknya dia menyempatkan diri untuk mengganti pakaian. Dia kemudian duduk di dekat kami. Dia terlihat masih marah kepada Jee atas perbuatannya kepada Fuyumi.
Hayate kemudian membuka botol dan meminum beberapa teguk air. “Bolehkah saya memotret Anda minum?” tanya Jee kali ini.
“Estetika apa yang Anda dapatkan?” Hayate berhenti minum sejenak dan menolak dengan halus.
“Saya seorang penulis puisi di koran harian. Biasanya saya juga menaruh foto hasil potretan saya dan banyak yang suka.”
“Silahkan. Saya tidak keberatan asal yang Anda tulis baik.”
Hayate melanjutkan minum dan dipotret oleh Jee. Kilatan kamera menyilaukan kami. Jee kemudian berdiri menuju Hayate dan menunjukkan foto hasil potretannya.
“Foto yang bagus. Kenapa Anda tidak menjadi fotografer saja?”
“Mereka menolak foto seperti ini. Biasa saja bagi mereka. Sehingga aku harus menyertakan dengan puisi agar diterima?”
Andi memasuki lorong kereta ini seraya kereta mulai berjalan. Dia mengangkat sebuah nampan dengan sebuah mangkuk dan cangkir. “Siapa yang memesan ini?” tanyanya.
“Apa itu?” tanya Hayate.
“Semangkuk Ramen dan secangkir teh hijau.”
“Aku tidak ingat memesan itu. Coba tanya Nona Fuyumi.”
Andi berjalan menuju gerbong di belakang. Terlihat dan terdengar bahwa dia mengetuk salah satu pintu. “Fuyumi?”
“Nigeru!” Firdaus kelak memberitahuku bahwa ini perintah untuk menjauh.
“Beliau nampaknya masih tidak mau diganggu,” ucap Hayate.
Andi kembali ke gerbong ini dan tersandung. Nampan yang dia pegang terlepas dan jatuh. Kami refleks menarik kaki karena tidak ingin melepuh.
“Maaf!” ucap Andi kemudian berlari menuju gerbong depan dan kembali dengan sekain handuk. Dia menaruhnya di lantai sementara mengambil tempat sampah kecil dan sapu untuk membersihkan pecahan mangkuk dan cangkir.
Jee berdiri dan mengambil sapu dari tangan Andi. “Itu salahku. Aku menaruh koperku terlalu ke tengah di lantai ini dan membuatmu menabraknya.” Dia memundurkan kopernya dengan kaki.
“Tidak apa-apa. Salah saya juga kali ini tidak memperhatikan jalan.”
Singkat cerita, lantai kereta berhasil dibersihkan dan mereka berdamai. Hayate kemudian berdiri, pergi ke gerbong belakang dan mengetuk pintu kamar Fuyumi dan memanggilnya.
Anehnya, kali ini tidak ada sahutan sebagaimana Andi. Dia membuka pintu dan terlihat kaget dengan apa yang dia lihat. Aku yang penasaran berdiri dari tempat dudukku dan mendekatinya. Hayate hanya mengangkat kedua tangan entah kenapa, sampai aku melihat Fuyumi terbaring dan mulutnya memuntahkan busa.