Sabtu, 28 Maret - Hari ini kami pergi ke pusat Kota Harapan. Melihat seperti apa sebenarnya kota ini.
Aku melihat sebuah poster menempel di dinding dekat dengan trotoar kemudian membacanya. “Classical Symphony at The Dream Hotel.”
Firdaus menerjemahkannya berdasarkan apa yang dengan menjelaskan bahwa kami akan melihat konser musik klasik lagi jika datang ke sana. “Lihatlah, gratis! Kenapa kita harus menyia-nyiakan kesempatan ini?”
Aku sempat berpikir untuk memutuskan. Pada akhirnya aku setuju dan kami melanjutkan perjalanan.
“Oh ya, menurutmu, siapa yang akan tampil hari ini?” tanyaku.
“Mana aku tahu, bukannya kamu yang melihat poster itu?”
“Aku hanya membaca tulisan yang paling besar. Kita bahkan tidak mendekat untuk membaca poster.”
“Maksud kalian penampilan simfoni bukan?” Pertanyaan dari pria itu mengejutkan kami. Dia kemudian memperkenalkan diri sebagai Ryūzaki Sanjiro, seorang komposer musik klasik dari Jepang. “Aku adalah salah satu yang akan tampil hari ini.”
“Salah satu? Ada lagi?” tanya Firdaus.
“Ya, namanya Feng Liuxian dari Cina. Kami mengambil tempat yang berbeda untuk tampil. Dia akan tampil di aula sementara aku di rooftop. Setahuku dia sekarang sibuk di kamarnya menulis simfoni baru.”
“Apakah itu berarti kalian akan tampil pada waktu yang sama?”
“Tidak juga. Aku akan berada di rooftop beberapa menit setelah dia selesai. Siapa tahu penontonnya akan berlanjut kepadaku.”
Kami memasuki aula dari hotel itu. Waktu terus berlalu dan para penonton mulai memenuhi kursi di ruangan ini, begitu juga dengan orkestra. Namun orang bernama Feng Liuxian itu belum terlihat.
“Idris, bagaimana kalau kita menuju rooftop? Siapa tahu Ryūzaki di sana sudah tampil?” Aku baru saja ingin duduk sebelum ajakan dari Firdaus itu.
“Tapi dia bilang kalau sudah selesai di sini, baru dia tampil?”
“Bagaimana kalau di sini sudah selesai?”
“Lalu kenapa orkestra baru saja penuh?”
Perdebatan di antara kami terjadi dan aku memutuskan untuk mengalah dengan mengikuti keinginan Firdaus kali ini. Lagipula, sudah banyak keinginanku dimana dia selalu mengikutiku. Kami pun keluar dari aula.
“Sekarang, kita mau jalan mana? Tangga atau lift?” tanya Firdaus.
“Hm, kamu saja yang memilih,” jawabku. Firdaus kemudian memilih lift sementara aku hanya ikut. Dia beralasan belum pernah menaiki lift.
Firdaus kemudian menekan tombol bertulisan rooftop dari dalam lift ini dan tepat sebelum pintunya tertutup, tiba-tiba Ryūzaki masuk ke lift. Napasnya ngos-ngosan pertanda dia lari sebelumnya.
“Yang di aula sudah selesai?” tanya Ryūzaki.
“Kelihatannya belum, namun kami memutuskan untuk melihat Anda yang seharusnya berada di tujuan kami,” jawabku.
“Lalu apa alasan kalian?” tanya Ryūzaki lagi.
“Waktu sudah lama berlalu bahkan penonton dan orkestra memenuhi tempat duduk mereka masing-masing namun dia belum saja datang.”
“Hm, itu aneh. Bagaimana kalau kita ke lantai 13? Setahuku dia tinggal pada salah satu kamar di lantai tersebut.”
Tujuan lift kami kemudian dirubah dari rooftop menuju lantai 13. Sesampainya di lantai tersebut, suasana terasa suram. Salah satu lampu yang ditaruh di plafon dibiarkan kedap-kedip, seolah tidak diperbaiki.
“Aku rasa ini kamarnya.” Ryūzaki membukakan pintu sebuah kamar dengan kartu di tangannya. Aku berasumsi bahwa kartu tersebut semacam kunci dari kamar itu.
“Feng?” tanya Ryuzaki yang mulai mendekatinya. Feng terlihat menaruh kepalanya di meja dengan tangan memegang pensil di sampingnya, selayaknya orang yang tertidur setelah menulis sesuatu.
Aku juga mulai mendekati Feng sambil melihat kertas yang tertindih kepalanya. “Apa yang ditulisnya?” tanyaku.
“Simfoni kesembilan, dan dia hampir selesai,” ucap Ryūzaki. “Seharusnya dia tidak melakukan ini karena simfoni kesembilan mengutuk siapapun yang menulisnya menjadi nyawanya hilang.”
“Apakah ini memang kutukan simfoni kesembilan, atau memang Anda yang membunuhnya?” tanyaku.
“Ya, bagaimana juga Anda bisa memiliki kunci untuk mengakses kamar pribadinya?” tanya Firdaus. “Saya yakin seandainya Anda beralasan bahwa menemukannya begitu saja, itu akan menjadi sangatlah tidak masuk akal.”
“Sial, aku ketahuan!” Ryūzaki kemudian melarikan diri ke arah lift dan dengan cepat menekan tombol turun.
Kami yang mengejarnya tidak sempat menangkapnya karena lari yang lebih cepat. “Hei, padahal aku belum tentu benar!” ucapku.
Tulisan Error terlihat dari layar LCD yang mungkin dari sana Ryūzaki bisa melihat tujuan kami saat kami di dalam lift itu. Aku baru saja menyadarinya.
Pintu lift itu belum tertutup namun lift itu turun dengan cepat. Suara gesekan yang terdengar seperti decitan nyaring itu mulai mengganggu sehingga aku menutup telinga. Sampai suara itu tiba-tiba berhenti. Layar LCD itu menandakan dia berhenti di lantai 4.
“Baiklah, kita harus turun segera melalui tangga sebelum dia kabur.”
Kami kemudian menuruni tangga dengan berlari sambil berpegangan kepada pegangan tangga agar tidak terpeleset maupun terjatuh. Sesampainya di lantai 4, aku melihat dia terbaring.
“Ada apa lari-lari?” Aku menoleh kepada pria yang bertanya itu. Di saku bajunya tertera sebuah lencana.
“Tunggu dulu, apakah Anda seorang opsir?” tanyaku.
“Benar, saya seorang opsir dari Kepolisian Kota Harapan yang sudah beberapa hari di sini dan saya tinggal di lantai empat ini.”
Aku dan Firdaus bergantian menjelaskan apa yang membuat kami berlari. Intinya, kami menjelaskan bahwa Ryūzaki ini adalah orang yang telah membunuh Feng Liuxian namun satu-satunya bukti hanyalah kartu yang ada di tangannya.
Opsir itu masuk ke dalam lift untuk menggeledah Ryūzaki dan menemukan kartu yang kami maksud. Dia mengamankannya kemudian mengeluarkan borgol dari saku celananya untuk memborgol tangan Ryūzaki kemudian berucap “Terima kasih ya dik.”
“Terima kasih kembali,” jawabku. Beliau kemudian pergi membawa Ryūzaki yang masih tidak sadarkan diri itu. Beliau nampaknya akan mengamankan di kamar beliau terlebih dahulu. Mungkin untuk membuktikan kartu itu karena beliau menaiki tangga setelah mengunci Ryūzaki di kamar.
Ponsel Firdaus kemudian berdering dan aku sudah mengenal dengan jelas bahwa itu pertanda pesan masuk. Dia kemudian memberitahukan tentang surat resmi dari walikota Sukamawar, Mahmud yang juga bekerja sebagai kepala sekolah di MA Sukamawar.
Surat tersebut berisikan tentang izin masuk bagi warga Sukamawar yang sedang berada di luar kota. “Jangan panik. Tetap tenang selama Anda mengikuti protokol yang telah kami sediakan.”
Kami merasa sangat bersyukur mendapatkan informasi tersebut. Kota ini mengingatkanku akan sesuatu. “Kau tahu, Firdaus. Kota ini hanyalah seperti Kotak Pandora dalam puisi kuno berjudul Works and Days karya Hesiod.”
“Ya …meskipun sebenarnya guci dalam puisi itu. Mereka mengatakan isinya harapan,namun ketika dibuka apa yang keluar dari kotak itu semua keburukan yang menyakitkan. Untungnya, sekarang kita bisa pulang ke Sukamawar. Semoga keadaan di sana lebih tenang.”