arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Jumat, 3 April - Aku sedang berada di ruangan favoritku. Sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana cara menyebutnya. Ruangan ini semacam kantor kecil namun dengan rak buku di sekitarnya. Aku sangat ingin menyebutnya sebagai perpustakaan, namun bingung.

Aku kemudian menyalakan komputer yang dulunya milik ayahku ini. Aku masih heran pasti ada rentang waktu yang cukup lama setiap kali aku menyalakannya. Untuk kali ini kurang lebih sebulan. Aku sangat bersyukur karena belum ada hal penting yang mengharuskanku selalu berhadapan dengan komputer.

Ketika komputer tersebut menyala, aku sempat ditakutkan dengan munculnya hitungan mundur yang sudah berada pada lima menit. Aku melihat jam, sekarang pukul 14:55.

“Apa yang akan terjadi pada jam tiga?” tanyaku.

Aku kemudian berniat untuk menelepon Firdaus melalui telepon rumah yang juga berada di ruangan ini. Entah kenapa sudah tiga kali aku mengulanginya, dia tetap tidak menjawab.

Hitung mundur itu terus berjalan. Aku takut itu adalah bom waktu yang akan meledakkan rumahku.

“Halo, Idris!” Suara itu tiba-tiba muncul. Terdengar dari speaker komputer.

“Ayah?” Aku memberanikan diri untuk duduk kembali di kursi, menghadap kepada komputer itu.

Aku sempat melambaikan tangan karena mengira itu video langsung. Ternyata tidak, video itu sepertinya dijadwalkan untuk tampil hari ini. “Video ini sudah ayah rekam cukup lama, di ruangan yang sama dengan kamu menontonnya sekarang.” Ayahku kemudian memperlihatkan dinding di belakangnya.

Entah kenapa pandanganku mengarah kepada sebuah foto tepat di atas kepala ayahku, di dinding itu. Meski samar-samar, seperti ada dua bayi dalam foto tersebut. “Ah, mungkin hanya lukisan namun diganti.”

“Ayah hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun, Idris. Semoga hidupmu selalu berada dalam kasih sayang Tuhan.”

“Tunggu, hari ini aku ulang tahun?” Aku bahkan lupa tanggal masehinya karena selalu mengingat tanggal hijriyahnya, 20 di bulan al-Muharram.

“Itu saja yang ingin ayah sampaikan. Gunakan waktumu sebaik-baiknya. Salam.” Video itu berakhir begitu saja dan tampilan komputer kembali normal.

Tanpa terasa air mataku menetes. “Kenapa ayah pergi namun masih perhatian dengan ulang tahunku?”

Aku menyalahkan diriku dengan sangat pada waktu itu. “Aku yakin ini gara-gara semester genap di kelas sembilan kemarin.”

Aku yang saat itu mengalami perundungan sejadi-jadinya, memutuskan untuk mengurung diri dalam kamar. Ibu sempat memarahiku dari luar kamar sampai suara ayah terdengar menenangkan. Sempat terdengar perdebatan dari mereka namun aku hanya menutup kepalaku dengan bantal agar tidak mendengar lagi.

Aku sangat jatuh saat itu. Kesehatanku yang memang cukup lemah ditambah mentalku yang kurang kuat membuatku mengurung diri selama beberapa hari. Ayah biasanya mengetuk pintu dan makanan sudah berada di depannya ketika kubuka.

Akibatnya juga kudapatkan. Aku yang diharuskan selalu ranking pertama oleh ibuku, menurun ke ranking tiga. Aku tahu dengan sangat jelas bahwa itu hasil dari meninggalkan pelajaran dan aku yakin ibuku sangat kecewa namun aku tidak mau berpikiran itu yang menyebabkan mereka pergi. Mereka punya kesibukan masing-masing dan kurasa aku sudah bisa mandiri.

Aku menyapu air mataku kemudian mematikan komputerku karena tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dengannya. Sekarang aku berdiri di tempat Firdaus pernah menungguku di ruangan ini. “Apa yang membuatnya terdiam melihat foto itu?” Aku memandang kepada foto keluargaku.

Jika melihatnya sekilas, hanya ada aku dan kedua orang tuaku di sana. Sampai aku melihat sesuatu, aku rasa ada dibalik foto itu. Aku kemudian mengambil bingkai foto tersebut untuk melepas dan melihat apa isinya.

Ternyata dalam bingkai foto itu terdapat dua foto. Yang satu sudah kujelaskan sebelumnya dan yang satunya….

“Ini foto yang sama saat rekaman ayah itu! Jangan-jangan Firdaus sebenarnya melihatnya secara sekilas sehingga memerhatikannya.”


Aku keluar dari rumah dengan niat pergi ke rumah Firdaus. Dengan masker yang baru saja kubeli dan pakaian biasa saat aku jalan-jalan seperti ini, aku menuju rumahnya.

Sesampainya di rumahnya, di sana cukup ramai. Aku cukup bersyukur mereka yang ada di sana tidak mengenalku. Hingga Firdaus mengenaliku kemudian memanggil.

Aku hanya menuruti panggilannya, namun aku yang lebih dulu bertanya dengan pertanyaan “Ada apa ini ramai-ramai?”

“Aku ulang tahun hari ini dan mereka merayakannya.”

“Tunggu, kamu ulang tahun hari ini?” tanyaku.

“Ya, memangnya kenapa? Kamu ulang tahun hari ini juga?”

“Tidak, aku hanya baru tahu.” Aku memegang bahu Firdaus. “Selamat ulang tahun, Firdaus. Semoga keberkahan dari Tuhan selalu bersamamu.”

“Terima kasih. Mereka nampaknya memerhatikanmu,” ucap Firdaus. “Perlukah aku memperkenalkanmu dengan mereka?”

“Kurasa tidak perlu.”

Ponselku tiba-tiba berdering pertanda ada yang meneleponku. Aku mengeluarkannya dari saku dan ditertawakan oleh orang yang ada di sana. Mungkin karena aku masih memakai ponsel milik ayahku yang terlihat sedikit usang.

Aku kemudian menjauh untuk menjawab telepon namun aku sadar Firdaus mengikutiku. “Apakah kamu marah?” tanya Firdaus.

Aku berpaling untuk menolehnya dan hanya memberi senyuman. “Ya, ini Idris. Ada apa?”

Telepon itu dari Kepolisian Kebun Melati. Mereka memberitahukan bahwa menemukan seorang mayat tergeletak di halaman sekolahku dulu. Mereka juga memberitahukan bahwa meminta sedikit bantuanku mengingat Dimas pergi entah kemana.

“Firdaus, ada sebuah kasus yang harus kuhadapi sekarang. Sampai jumpa lain waktu.” Aku kemudian berjalan semakin menjauh.

“Idris, tunggu!” teriak Firdaus.

“Kenapa kamu harus menghadapinya sendirian, ketika kita bisa melakukannya bersama?”

Komentar