arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Aku dan Firdaus sekarang berjalan menuju tempat kejadian. Firdaus sempat berpamitan dengan orang yang hadir di rumahnya dengan alasan ingin pergi sementara.

Semenjak tembok pemisah ini mulai dihancurkan saat itu, tidak perlu lagi melalui rumahku untuk mencapai ke Kebun Melati. Biasanya rumahku menjadi lorong satu-satunya.

Tujuan utama kami tentu sekolahku dulu, sesuai dengan kabar yang kudapatkan melalui telepon tadi. Sebelumnya jika bersama, sudah sekali kami ke sini. Saat itu aku hanya menunjukkannya kepada Firdaus dalam rangka memperkenalkan diriku.

Kali ini, Firdaus membuktikan bahwa dirinya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan Kebun Melati ini. Dia tidak bereaksi berlebihan seperti dulu. Namun aku juga sadar bahwa dia memang bukan alergi.

Sesampainya di sana, sudah ada seorang opsir dari Kepolisian Kebun Melati yang nampaknya menunggu kami. Beliau tidak mau identitasnya diceritakan. “Terima kasih telah datang ke sini. Siapa dia?”

“Saya Firdaus, temannya Idris.” Firdaus malah memperkenalkan dirinya sendiri, tanpa sempat aku menjawab pertanyaan sang opsir.

“Oh, halo Firdaus. Senang berkenalan denganmu.”

“Jadi, apa yang Anda temukan, pak polisi?”

“Mayat ini adalah seorang wanita. Identitas yang kami dapatkan dia berinisial B, berusia 25 tahun. Saya belum memeriksa penyebab meninggalnya namun menemukan sesuatu di punggungnya.”

Beliau menunjukkan sebuah stiker seperti kode QR dengan angka 338 di tengahnya berlatarkan– “Gambar bunga plum yang tertutupi salju….” ucap Firdaus.

“Kapan kita pernah melihat gambar ini?” tanyaku yang sempat lupa saat itu.

“Stiker yang tertera pada dua botol kapsul yang masing-masing berisikan Sitalopram dan Simetidin. Kita diberitahu saat itu bahwa itu milik Fuyumi, yang kita menduganya bunuh diri dalam kereta saat di Kota Dingin.”

“Aku tidak menyangka jawaban itu. Dalam pikiranku, aku baru saja teringat stiker yang balsem biru itu.”

“Ya, itu juga.” Firdaus mengeluarkan ponselnya. Dia nampaknya memindai kode QR itu dengan sebuah aplikasi. Hasilnya mengarah kepada sebuah situs web terbuka dengan sesuatu yang menjadi fokus kami.

“Selamat datang di situs resmi Winter Flowers yang mengadakan sebuah lomba dengan hadiah utama satu milyar rupiah yang dibagikan kepada lima orang yang membantu kami menyelesaikan progres

“Selamat datang di situs resmi Winter Flowers yang mengadakan sebuah lomba dengan hadiah utama satu milyar rupiah yang dibagikan kepada lima orang yang membantu kami menyelesaikan progres.” Firdaus membacakan kemudian menunjukkan kepadaku.

Aku membaca kelanjutannya. Dijelaskan peraturannya bahwa satu orang dilarang melakukan dua atau lebih untuk membantu progres berjalan, kecuali siap menerima konsekuensinya.

“Siapa sebenarnya mereka ini? Ada apa juga dengan angka-angka ini?” tanyaku sambil mengembalikan ponsel Firdaus.

Sang opsir menerima panggilan. Beliau kemudian berpamitan untuk mengurus kasus lainnya, namun menjamin bahwa ambulans akan datang untuk menjemput mayat ini sebentar lagi. Beliau juga mengatakan bahwa akan memberitahu kami jika kasus yang akan beliau hadapi berkaitan dengan kasus yang sekarang.

“Apakah kita bisa mengetahui cara orang ini meninggal?” tanya Firdaus yang terlihat masih meneliti situs web tadi.

“Aku juga mempertanyakan hal itu. Kalau mengingat kita yang dulu, saat di Rumah Maneken Lilin, kita menyerahkan kepada pihak rumah sakit untuk melakukan autopsi dan memaksa mereka menyatakan hasilnya hari itu juga.”

“Tapi seharusnya autopsi jarang selesai dalam satu hari. Bagaimana kalau mereka sebenarnya hanya memeriksa dari bagian luar saja saat itu demi memberikan hasil yang cepat?”

“Berarti seharusnya kita menanyakan hal ini kepada polisi tadi.”

“Tapi dia bilang belum memeriksanya bukan?”

Aku sempat terdiam, mencoba untuk memikirkan keputusan baru. “Seandainya pihak rumah sakit bisa menilai penyebab kematian seseorang dengan hanya melihat dari luar, maka kita harus bisa melakukannya juga.”

Kami memeriksa dari luar dan melihat bekas tali tambang di leher korban. Dengan demikian kami berasumsi bahwa korban meninggal akibat tercekik tali.

“Seandainya korban dibunuh, mengapa pelaku memilih untuk menggunakan cekikan saja?” tanyaku kepada Firdaus sambil memikirkan kemungkinan. Dia hanya melihat sesuatu di ponsel saat itu, tanpa menjawab pertanyaanku.

“Idris, aku menemukan sesuatu.” Firdaus menunjukkan ponselnya. Dia sepertinya menemukan sesuatu yang menarik.

Sedang diputar video rekaman yang nampaknya diambil dari CCTV. Terlihat pelaku pembunuhan –yang sayang wajahnya tidak begitu jelas terlihat– sedang mencekik korban dengan senjatanya yakni tali tambang yang terlihat cukup besar, sesuai dengan bekas yang kami lihat. Setelah tidak sadarkan diri, pelaku kemudian menunjukkan stiker itu dan merogoh bagian punggung korban. Sepertinya untuk menempelkannya.

“Salah satu dari peraturan permainan mereka ini adalah harus membuktikan bahwa mereka adalah pelakunya dengan menjelaskan rinciannya sejelas mungkin di situs ini. Ini membuatku bingung menjelajahi situs ini dan mulai bertanya kenapa mereka harus membuatnya terbuka.” Ucapan Firdaus membenarkan asumsiku tentang dirinya yang masih melihat ponselnya.

“Peraturan selanjutnya adalah pelaku atau korban harus berinisial dengan yang sudah mereka tentukan. Kita sebut saja mereka Bingo. Dan ya, aku rasa aku mengetahui dua orang utama dibalik organisasi kejahatan ini.”

“Siapa mereka?” tanyaku penasaran.

“Mantan kepala sekolah yang telah meledakkan sekolah kita, Bagus dan anaknya yang sudahkita kenal dengan berbagai rancangan kasus yang dia buat selama ini, Zain.”

Komentar