“Mereka bahkan menyediakan foto 3D dari diri mereka di sini. Seolah tidak takut lagi dengan polisi,” ucap Firdaus.
“Bolehkah aku melihatnya?” tanyaku. Kali ini, tetap Firdaus yang memegang ponselnya sementara aku hanya melihat.
Aku menyadari ada yang sama dari foto itu. “Coba sorot bagian belakang mereka. Postur tubuh Zain dan ayahnya terlihat sangat mirip kalau dari belakang.” Aku cukup menyesal karena tidak menyadarinya dari dulu.
“Mungkin karena Zain memang beberapa tahun lebih tua dari kita sehingga posturnya sudah menyerupai orang dewasa,” jawab Firdaus sementara aku mencukupkan diri dalam melihat hal tersebut.
Kemudian aku teringat sesuatu. “Bagaimana kalau sebenarnya saat aku mengejar Zain di Kota Pasir Putih itu, yang menaiki speedboat itu adalah ayahnya sementara Zain kabur ke tempat lain?” tanyaku.
“Bukankah dia sudah ditangkap? Dia seharusnya dipenjara sekarang.” Jawaban Firdaus membuatku terdiam sejenak sehingga membuatku membicarakan topik baru.
“Bagaimana dengan angka-angka dalam permainan mereka itu? Apakah ada makna tertentu?”
“Aku belum mengetahuinya, mungkin mereka hanya menjelaskannya kepada orang yang bersedia melakukan sesuatu di balik angka itu.”
Ambulans akhirnya datang untuk mengambil mayat tersebut sementara kami pamit untuk pulang. Tujuan kami adalah rumahku agar bisa melanjutkan pembicaraan.
Kami sekarang berada di ruanganku, dimana aku kali ini sudah menemukan sebuah kursi yang tidak terpakai namun masih bagus sehingga menyuruh Firdaus untuk duduk di sana sementara aku menyalakan komputer untuk mengakses situs tersebut sendiri dengan alamat yang sudah diketahui.
“Jadi, apakah kamu sebenarnya marah ketika ditertawakan itu?” Firdaus menanyakannya lagi. Aku yakin ini salahku karena hanya menyahutnya dengan senyuman.
“Maksudmu saat di rumahmu tadi bukan? Tidak, aku menjauh karena memang menerima panggilan dan di sana terlalu ramai sehingga kurasa akan cukup susah mendengar suara dari ponselku.”
“Kurasa mereka sejenis rasis, hanya memandang seseorang dari luarnya. Mereka hanya tidak tahu seberapa mampu dirimu sebenarnya untuk membeli ponsel sepertiku.”
Aku cukup kesal dengan Firdaus karena tidak menyangka dia mengucapkan hal seperti itu. “Firdaus, izinkan aku bercerita terlebih dahulu.” Ini bertujuan agar Firdaus tidak salah dalam memahami dan menghilangkan sangkaan negatifnya.
Aku menceritakan bahwa aku dulu sempat memiliki ponsel seperti Firdaus, namun mungkin karena performaku dalam belajar menurun sehingga ibuku tidak suka hal itu. Sampai suatu hari, ponselku menghilang dan aku bertanya kepada ayahku tentang hal itu.
“Jangan sedih, suatu hari nanti kamu bisa membelinya dengan hasil jerih payahmu sendiri dan tidak akan ada yang bisa mengganggunya lagi.” Aku masih ingat ucapan ayahku.
“Aku tidak seperti dirimu, Firdaus. Ayahmu meskipun jauh darimu, mungkin beliau masih memikirkanmu ketika di sana. Aku yakin kamu mendapatkan uang yang cukup untuk sekolah.”
Aku kemudian menceritakan tentang hadiah yang diberikan oleh MTs Kebun Melati saat aku berhasil meraih ranking pertama dulu. Mereka memberi uang yang cukup besar, mengingat siswa di sana juga cukup banyak.
“Sampai aku jatuh, menuju ranking tiga. Sebenarnya aku tetap mendapat hadiah namun dalam nominal yang lebih kecil daripada biasanya, tapi ibuku saat itu nampaknya benar-benar kecewa. Ponsel yang kumiliki saat itu ternyata berada di tangannya kemudian dia hancurkan di hadapan mataku.” Sebenarnya sangat banyak yang terjadi saat itu namun aku mulai melupakannya.
“Maafkan aku menanyakan hal itu.” Firdaus terlihat menundukkan kepalanya.
“Tidak apa-apa. Aku senang bercerita.”
“Oh ya, ponsel ini–” Aku mengeluarkannya dari saku. “Ini adalah milik ayahku yang kutemukan di laci ini.”
“Aku memeriksanya dan ternyata masih baik sehingga aku memutuskan untuk menggunakannya. Aku juga memeriksa nomornya kemudian menghubungi Kepolisian Kebun Melati agar menghubungiku melalui nomor tersebut saja, tidak perlu menggunakan telepon ini lagi.” Aku menunjuk telepon yang biasanya kupakai.
“Bolehkah aku memintanya?” tanya Firdaus.
“Tentu, agar kita bisa saling telepon lebih mudah. Aku juga mungkin mulai sekarang akan selalu membawa ponsel ini. Aku juga akan memberitahumu bahwa uang sebagai hadiah itu jika dikumpulkan sebenarnya cukup untuk membeli ponsel seperti punyamu, namun aku memilih untuk tidak membelinya dan memuaskan diri dengan apa yang ada.”
Aku memberhentikan ceritaku di sana karena pandanganku sekarang fokus kepada situs web dari permainan itu. Aku akan menyebutnya progres saja, dan sudah sampai mana.
“Aku sekarang melihat apa yang kamu beritahukan sebelumnya, yakni peraturan. Sekarang aku fokus terhadap hal itu dan mencari celah untuk menggagalkan permainan ini.” Hadiah yang kami dapatkan jika sukses dalam menggagalkan permainan tersebut adalah Winter Flowers akan dibubarkan, dimulai dengan penutupan situsnya. “Kamu sudah menyampaikan sebelumnya bahwa pelaku atau korban harus berinisial yang mereka tentukan.”
“Bingo.” Kami mengucapkannya bersamaan.
“Berdasarkan informasi tersebut mungkin mereka ingin mengadakan permainan bingo namun mengingat uang yang tidak cukup, apalagi akan ada dua puluh lima orang yang akan berkontribusi.”
“Tapi untuk satu milyar itu saja sudah termasuk nominal yang besar,” ucapku. “Dari mana mereka bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”
Firdaus menyuruhku untuk mengingat perkataan Dimas. “Winter Flowers juga memiliki sebuah perusahaan medis, dimana mereka membuat obat-obatan yang sayangnya mereka campur dengan bahan kimia tertentu atau ada juga yang dilebihkan satu bahan.” Aku masih mengingatnya.
“Tunggu dulu, membuat obat-obatan yang dilebihkan satu bahan.” Aku teringat Fuyumi yang mengkonsumsi Sitalopram dan Simetidin namun stiker yang menempel pada botol kapsulnya menandakan bahwa itu produksi Winter Flowers.
“Apa salah satu bahan dari Sitalopram dan Simetidin yang bisa membunuh jika dilebihkan dosisnya?” tanyaku kepada diri sendiri. Aku mencari hal tersebut dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. “Sianida?”
“Pantas saja Fuyumi keracunan.” Aku cukup menyesal karena tidak terpikir saat itu.