arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Kamis, 9 April - Selama beberapa hari, kami setia dalam mengawasi perkembangan situs web terbuka milik Winter Flowers ini namun tidak ada yang baru. Sampai hari ini tiba, aku mendapatkan telepon dari opsir yang bekerja di Kepolisian Sukamawar.

Beliau memberitahuku bahwa ada seseorang yang melaporkan bahwa motornya dicuri. Untuk entah keberapa kalinya, aku refresh situs web ini dan benar saja, aku menemukan sebuah pergerakan dalam permainan.

Untuk entah keberapa kalinya, aku refresh situs web ini dan benar saja, aku menemukan sebuah pergerakan dalam permainan

Ketika aku menemukan sebuah pergerakan, aku langsung mengabarkannya kepada Firdaus. “Bagaimana dengan videonya?” tanyanya melalui telepon.

“Rekaman dari CCTV lagi,” ucapku. “Bedanya kali ini wajah pelaku terlihat jelas begitu juga dengan motor yang dicuri.”

Tepat di bawah video tersebut, ada sebuah rincian dari apa yang pelaku lakukan pada tahap kedua dari permainan ini. Berdasarkan rincian tersebut, pelaku adalah seorang wanita berusia 38 tahun dengan inisial I. Ini membuktikan temuan kami di awal. “Urutan bingo.”

Hari ini aku juga meminta kabar dari persidangan untuk tahap pertama dari progres ini karena tahu bahwa pelakunya sudah tertangkap. Intinya hakim dari pengadilan memutuskan bahwa pelaku dikenai pasal pembunuhan dengan hukuman lima belas tahun penjara. Rekaman CCTV tidak dapat menjadi bukti bahwa pelaku melakukan pembunuhan berencana meskipun terlihat demikian karena ketiadaan saksi mata yang sedang berada di tempat saat kejadian.

Singkat cerita, motor korban berhasil ditemukan pada 12 April dengan sebuah stiker menempel di badannya. Bentuknya mirip dengan yang kami temukan sebelumnya. Hanya saja angka pada stiker itu bertuliskan 362, sesuai dengan tahap yang pelaku mainkan. Namun saat itu, sidang belum diadakan.


Selasa, 14 April – Jeda beberapa hari lainnya dalam progres agar bergerak. “Berarti hanya orang-orang yang tergiur dengan hadiah satu milyar rupiah itu pelakunya.” Selama beberapa hari itu, aku memang lebih meluangkan waktu untuk memeriksa situs web tempat permainan ini diadakan, berharap walaupun mustahil bahwa mereka akan menjelaskan makna dari angka-angka itu.

Aku sempat menelepon Kepolisian Sukamawar dengan telepon rumahku untuk mengetahui persidangan tentang tahap kedua dari permainan ini. “Wanita berinisial I itu akan dihukum lima tahun penjara.” Informasi itu cukup menghilangkan rasa penasaranku.

Hari itu aku keluar dari rumah dengan niat melihat bagaimana perbaruan dari tembok yang sedang dihancurkan. Mengejutkannya ada sebuah poster menempel pada tembok itu, menghadap ke Kota Sukamawar. “Mahmud, sang walikota Sukamawar ini ternyata hanyalah pria yang–” Aku tidak akan menuliskannya karena sambungannya merupakan sebuah penghinaan. Seolah mencitrakan bahwa sang walikota menyalahgunakan kekuasannya.

Namun yang mengejutkannya lagi adalah “Stiker itu lagi!” Yang membedakannya lagi-lagi sebuah angka. Pada stiker tersebut tertulis angka 208. Aku bersegera kembali ke rumah kemudian memeriksa situs web mereka itu dan benar saja.

Aku kemudian memeriksa rincian dengan harapan menemukan makna di balik angka-angka ini, namun hasilnya nihil. “Kurasa mereka tidak akan menjelaskannya….” Aku mulai kecewa. Kekecewaan seolah menutup sebelah mataku bahwa pelakunya adalah seorang pria berinisial N dengan usia 19 tahun.

Aku menelepon Kepolisian Sukamawar melalui nomor yang pernah diberikan oleh Kepolisian Kebun Melati dulu untuk mencari informasi selanjutnya tentang tahap kedua ini, terutama sidangnya.

“Pelaku sudah kami penjarakan berdasarkan keputusan hakim yakni selama lima tahun karena melakukan pasal pencurian.” Informasi ini seharusnya cukup, tapi aku merasakan ada sesuatu yang kurang.

Beberapa saat kemudian, ponselku berdering dan langsung kuangkat. Ternyata itu Firdaus yang meneleponku.

“Idris, kamu punya Wetboek van Strafrecht Staatsblad tidak?”

“Buku apa itu? Aku belum mengetahuinya.”

“Kitab Undang-undang Hukum Pidana,” ucap Firdaus kemudian tertawa kecil.

“Firdaus, kamu meneleponku hanya untuk bercanda?”

“Tidak, aku ingin membacanya sebentar. Siapa tahu nanti akan dipelajari di mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.”

Aku meletakkan ponselku di atas meja tanpa menghentikan panggilan dari Firdaus sementara aku bergerak menuju salah satu rak buku yang kuyakini ada salinan KUHP di sana. Entah ayah atau ibu yang menaruhnya.

Baru saja aku ingin duduk untuk membuka buku itu. “Ya, aku bercanda,” ucap Firdaus.

“Tapi jangan kesal dulu. Periksalah nomor-nomor pada permainan itu dalam KUHP.”

Aku membalik halaman demi halaman dekat dengan ponsel itu agar Firdaus mendengarkannya sebagai tanda kekesalanku sampai tiba-tiba aku malah berhenti karena menemukan apa yang dimaksudnya.

“Ada apa?” tanya Firdaus dengan nada sinis. “Jangan sebut aku–”

“Kita yang menemukannya.”

Komentar