arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

“Bagaimana bisa?”

“Bukannya kamu yang cerita tentang sidang itu. Keputusan hakim itu jadi kuncinya lho.”

“Itu alasannya bahwa yang mereka lakukan dalam permainan ini adalah tindak pidana,” ucap kami bersamaan.

“Terima kasih telah menyadarkan akan hal ini, Firdaus.” 338 adalah pasal tentang pembunuhan, 362 tentang pencurian, serta 208 tentang tulisan yang menghina penguasa.

“Terima kasih kembali. Tapi kita belum selesai di sini.” Firdaus kemudian menjelaskan bahwa dengan informasi yang ada sekarang, kami seharusnya dipermudah dalam menggagalkan progres ini.

Sekarang, kami fokus untuk melakukannya. Berdasarkan KUHP, tahapan selanjutnya adalah penggunaan uang palsu. Aku yakin uang tersebut akan didesain dengan mencantumkan kode QR atau gambar bunga plum yang tertutupi salju itu.

Masalahnya adalah, dimana mereka akan melakukannya. “Tahap pertama di Kebun Melati, sedangkan tahap kedua dan ketiga di Sukamawar. Seharusnya para pelaku hanya mengambil tempat di sana bukan?” tanyaku.

“Seharusnya begitu,” jawab Firdaus. “Tapi kenapa mereka memilih dua kota ini saja?”

“Entahlah, coba kubuka halaman tentang mereka pada situs web ini. Siapa tahu mereka memperkenalkan diri karena kemarin kita hanya melihat foto saja.”

Pada halaman tersebut, aku menemukan apa yang ditunjukkan Firdaus sebelumnya yakni foto 3D yang dapat diputar. Dari sanalah Firdaus ternyata mengetahui bahwa Zain adalah anak dari Bagus, mantan kepala sekolah MA Sukamawar.

“Sebagai pemimpin dari perusahaan, kami harus menjadi seorang pelopor dalam kejahatan.” Aku mulai merasakan keanehan dari sini, namun aku tetap membacanya.

“Kejahatan seolah menjadi prestasi.” Hanya itu ungkapan yang bisa menjelaskan apa yang mereka tampilkan. Bagus sang mantan kepala sekolah, mengaku telah membunuh seorang wanita bernama Tania dan anaknya yang bernama–

“Andri?” Aku mencoba mengingat foto keluarga di rumah Firdaus dan wajah di buku album foto alumni yang pernah kutemukan di perpustakaan sekolah namun sayangnya aku lupa karena sudah cukup lama tidak melihatnya.

Aku mengambil ponselku di meja. “Firdaus, kamu masih di sana?”

“Ya, ada apa?”

“Sekarang cek halaman tentang Winter Flowers di situs mereka, dan lihat ‘prestasi’ Bagus sang mantan kepala sekolah. Matikan saja panggilan ini namun kabari aku setelah melihatnya.” Aku melakukan hal ini karena ingin mengetahui kebenarannya, foto Tania dan Andri yang sepertinya sudah tidak bernyawa bahkan dilampirkan di sana.

“Baiklah, aku akan melakukannya segera.” Panggilan dimatikan oleh Firdaus.

Sementara Firdaus memeriksa situs web tersebut dalam sudut pandangnya, aku tetap melanjutkan membaca ‘prestasi’ mereka ini. Aku tidak menyangka apa yang kulihat.

Pertama, Bagus punya kekuasaan atas Kepolisian Kebun Melati dan Sukamawar. “Bagaimana kalau saat di Pasir Putih itu, dia memang menggantikan Zain untuk kabur kemudian kembali setelah semua masyarakat terkumpul di pusat kota dan menerbangkan helikopter yang sudah ada jenazah Alif di dalamnya?” Pertanyaan dari diriku mulai bermunculan. “Apakah dia tidak dipenjara sehingga sangat berani mengadakan permainan ini?” Sampai aku membaca kelanjutannya.

Di bawah profil Bagus, disajikan juga profil Zain. Sama seperti ayahnya, dia juga menjadikan kejahatan yang dia pernah lakukan sebagai ‘prestasi’ dan dituliskan. Dia mencantumkan dari hal yang terlihat sederhana seperti kejadian saat Matsama, sampai yang lebih berani pembunuhan Mustafa dan Alif serta kejadian tahun baru.

Ada dua hal yang kusadari dari profilnya ini. Pertama, Firdaus benar bahwa Zain adalah pelaku dibalik pembunuhan Mustafa, ketua OSIS MA Sukamawar yang kami temukan dalam sumur di belakang sekolah itu. Kedua, Zain tidak memberikan kredit terhadap Dimas yang setahu kami telah membantunya dalam memberikan bom asap itu.

Firdaus kemudian meneleponku. “Bagaimana temuanmu?” tanyaku.

“Aku yakin maksudmu bagian profil Bagus itu bukan? Ya, itu Andri kakakku dan ibuku Tania. Tidak kusangka mereka dibunuh olehnya.”

“Masih ingat temuan kita di dalam gudang itu?” tanya Firdaus kepadaku.

“Banyak sih,” jawabku. “Mulai dari pecahan kaca, patahan kayu, dan beberapa paku yang dilumuri darah sampai ke beberapa tali yang terlihat seperti senar gitar, biola dan drum. Terlihat juga di ujung ruangan ini, tuts piano yang berhamburan serta recorder yang patah.”

Firdaus kemudian bercerita cukup panjang. Intinya dia berasumsi bahwa pecahan kaca itu berasal dari kacamata ibunya yang terjatuh di dalam gudang. Dia juga berpikiran bahwa patahan kayu itu adalah sebuah meja yang patah akibat kakaknya jatuh dari pintu jebakan yang pernah tidak sengaja kuinjak itu kemudian darah yang ada di paku itu adalah bekas kakaknya yang terbunuh di sana. “Alat musik yang hancur itu adalah bukti perkataan bapak Rian, guru seni budaya kita namun tidak ada hubungannya dengan kasus yang kita hadapi.”

Dia kemudian mengganti topik, seolah tidak ingin membicarakan hal itu. “Bagaimana dengan tahap selanjutnya?” tanyanya. “Bukankah kita sudah tahu apa yang akan terjadi?”

“Tapi seandainya kita berasumsi bahwa kejadian selanjutnya akan mengambil tempat pada restoran yang pernah kita datangi sebelumnya di Kebun Melati, ketika pelaku menggunakan uang palsu itu nantinya, apakah kita bisa menggagalkannya?”

“Kurasa tidak,” ucapku. “Uang itu ujung-ujungnya pasti sampai ke tangan korban.”

“Usulanku adalah kita menggagalkan yang terakhir saja. Kubaca pasal 187 dalam KUHP adalah tentang pembakaran dengan sengaja. Kita bisa menggagalkan dengan membakar sesuatu yang kemudian bisa beralasan dengan hakim bahwa dia tidak sengaja. Masalahnya adalah kita bisa dikenakan pasal 188 dalam KUHP tentang pembakaran tidak sengaja jika hakim memutuskan demikian.”

Aku kemudian memeriksa apakah ada halaman pengajuan pada situs web tersebut dan ternyata ada. Masalah baru muncul, mereka sangat tegas dalam menegakkan peraturan bahwa pelaku atau korban harus berinisial dengan urutan bingo itu.

“Itu idemu? Aku menentangnya.” Firdaus nampaknya tidak setuju dengan usulanku. “Begini saja, bukankah kita pernah menemui seseorang berinisial O sebelumnya?”

“Maksudmu Okta yang kita temui pada 17 Agustus itu?” tanyaku.

“Ya,dia. Aku tahu dimana dia biasanya berada dan kapan berada di sana, jika dia tetap melakukan rutinitasnya.”

Komentar