arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Kamis, 23 April – Sore ini kami berada di Taman Sukamawar, tidak jauh dari jembatan dan lapangan yang pernah kami datangi sebelumnya. Menurut Firdaus yang asli warga kota Sukamawar, biasanya Okta duduk di salah satu bangku namun kami belum melihatnya.

Aku meminta Firdaus untuk memeriksa situs web milik Winter Flowers terlebih dahulu untuk melihat pergerakan dari permainan ini. “Jika ada, bacakan rinciannya.”

“Kebetulan mereka memang melakukan kejahatan tersebut di restoran yang pernah kita datangi sebelumnya

“Kebetulan mereka memang melakukan kejahatan tersebut di restoran yang pernah kita datangi sebelumnya. Aku mengira pihak restoran yang akan menjadi korban namun ternyata seorang pelanggan berinisial G yang merupakan teman dari pelaku. Ceritanya adalah pelaku sempat ingin menyerahkan uang tersebut namun si G ini malah mengambilnya kemudian menggunakan uangnya.”

“Bukannya itu sebuah kegagalan?” tanyaku.

“Tidak, nantinya si G ini pasti akan menggunakan uang tersebut dan secara tidak langsung dia menjadi seorang pelaku. Aku mulai berpikiran bahwa mereka bekerja sama dan mungkin sudah ada janji hadiahnya akan dibagi dua.”

“Kita sudah berjanji tidak akan melakukan kejahatan bukan?” Firdaus mengangguk menjawab pertanyaanku. Sudah berlalu waktu yang cukup lama, namun Okta belum saja datang. Aku mempertanyakan sebuah kepastian dari ucapan Firdaus dan dia menjawab bahwa sering melihatnya dan yakin Okta duduk di salah satu bangku.

Aku kemudian memutuskan untuk pergi ke jembatan karena sudah lama tidak ke sana. Firdaus ikut dan sesampainya kami di sana, kami dikejutkan oleh Okta dengan pakaian yang cukup lusuh berdiri di puncak jembatan.

“Apakah kita akan memanggilnya?” tanya Firdaus.

“Jangan!” jawabku. “Itu bisa saja mengagetkannya sehingga dia terjatuh dan itu membunuhnya. Kalau itu terjadi, kita tidak bisa menggagalkan permainannya.”

“Aku punya ide yang lebih bagus. Kamu tunggu saja di sini dan aku akan pergi ke siring. Aku akan menampakkan diri kepadanya baru ketika dia sadar baru disuruh turun dan giliranmu untuk menyampaikan tujuan kita.” Firdaus setuju dengan ide tersebut dan aku langsung menuju siring.

Cukup susah untuk mengambil posisi yang tepat agar Okta melihatku. Dia sudah mengambil ancang-ancang namun tiba-tiba berhenti karena kebetulan melihatku. “Apa yang membuatnya berhenti karena melihatku?”

“Hei, apakah kamu orang yang memberitahukan Agus adalah pelaku pembunuhan saat 17 Agustus lalu?” teriak Okta. Dia nampaknya salah mengira bahwa aku Firdaus. “Turunlah dahulu!”

Okta mulai turun, maka aku kembali menuju jembatan. Bersama Firdaus, kami menunggu dia sampai ke bawah. Ketika Okta sampai di bawah, dia seolah terkejut. “Tunggu, kalian kembar?”

Kami sama-sama kebingungan. “Kami bahkan tidak mirip satu sama lain,” ucapku.

“Jadi, siapa orangnya?” tanya Okta. Aku baru saja ingin menjawabnya namun Firdaus mencegatku dan berkata, “Kami.”

“Oh, jadi kalian.” Intonasi Okta mulai berbeda. Dia nampaknya memiliki kemarahan kepada kami. “Setelah kejadian 17 Agustus itu, kalian menghancurkan hidupku akibat memberitahukan bahwa Agus adalah pelaku utama.”

“Agus adalah satu-satunya orang yang peduli denganku. Bahkan Aprillia yang saat itu menjabat sebagai ketua tim terbunuh, dia memang pantas menerimanya.” Aku teringat teman setimnya, Juliet. Dia juga membenci Aprillia.

“Lalu apa alasanmu pergi ke puncak jembatan itu? Bungee jumping?” tanyaku yang mulai marah. Firdaus kemudian menenangkanku.

“Aku membenci hidupku yang sekarang dan mencoba untuk mengakhirinya!” teriak Okta.

“Kenapa kamu tidak bergabung dengan Winter Flowers saja?” ucap Dimas yang tiba-tiba datang. Dia terjun dari salah satu angkot ketika mencapai jembatan ini.

“Mereka akan memberimu hadiah jika kamu berhasil melakukan apa yang mereka minta. Sekarang, buktikan bahwa kamu benci kehidupanmu!” kata Dimas kemudian menyerahkan stiker bertuliskan angka 187. “Bakarlah ini dekat dengan rumahmu, namun pastikan apinya membesar sampai ke rumahmu.”

Aku menarik Firdaus untuk mundur. Okta kemudian menerima stiker itu dan pulang dengan wajah bahagia.

“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyaku.

“Hei, apakah kamu orang yang memberitahukan Agus adalah pelaku pembunuhan saat 17 Agustus lalu?” Dimas mengutip teriakan Okta. “Ya, tadinya aku di sekitaran pinggir sungai dekat sini sehingga suara itu terdengar menggema. Aku tahu yang dimaksud adalah kalian karena aku melihat kalian saat itu namun kalian tidak melihatku. Kebetulan ada angkot lewat maka aku langsung naik.” Dimas kemudian menyuruhku untuk tetap tenang dengan mengatakan bahwa kernet angkot tadi baik-baik saja.

“Lalu apa tujuanmu?” Aku masih kesal kepadanya.

“Apakah kamu mengira bahwa aku bagian dari Winter Flowers?” Dimas kemudian tertawa. “Zain bahkan tidak membayarku atas semua ilusiku yang dia pinjam dan sudah lama jatuh tempo.”

“Ini saatku berpaling darinya, dan aku sudah siap menerima akibatnya.” Dimas menjelaskan bahwa stiker yang diberikan kepada Okta itu adalah buatannya yang meniru desain Winter Flowers dan sudah dimodifikasi sehingga apabila terbakar angkanya akan berubah menjadi 118. Rencana yang dia sudah sampaikan bertujuan agar tindakan Okta terlihat seperti sebuah ketidaksengajaan.

“Kalian harus bersyukur, karena sekarang aku akan menyerahkan diri kepada Kepolisian Kebun Melati meskipun mungkin mereka tidak akan percaya bahwa aku telah melakukan pembunuhan dan berbagai kejahatan yang lainnya.” Dimas bercerita bahwa dia menyesal memilih pekerjaan sebagai ilusionis dan tidak mengabdi untuk membantu kepolisian dalam memecahkan kasus.

Dimas kemudian memandangku. “Kalian akan jadi saksi, untuk Okta dan untukku.” Dia memasang kepala hoodie-nya dan pergi. Hal tersebut hanya menyisakan kebingungan bagiku.

Komentar