arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Di sore hari menjelang senja, Mira yang masih menggunakan waktu liburnya sedang membereskan rumah termasuk piring dan gelas yang digunakan untuk sarapan pagi tadi. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, Mira ke ruang tamu untuk duduk beristirahat.

Cukup lama dia mengambil waktu jeda sebelum ketukan terdengar dari luar pintu. “Mira, apakah kamu ada di rumah?” Mira mengenal suara itu. Rasa kantuk yang tadinya muncul perlahan langsung hilang setelah mendengar panggilan itu.

“Rian?” sambut Mira sambil membukakan pintu. Rian terlihat membawa beberapa barang bersamanya, dengan kantong plastik besar di tangan kanannya. “Masuklah.”

Rian pun melepas sandalnya kemudian masuk perlahan sambil mendorong pintu dengan badannya. Mira membawanya ke ruang tamu dan menyuruhnya untuk di sofa.

“Maafkan aku sebelumnya. Aku memintamu untuk bertemu di taman sore itu, nyatanya aku tidak bisa datang ke sana karena pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan segera.”

“Tidak apa-apa. Setidaknya kamu memberitahukanku alasannya,” ucap Mira dengan tersenyum.

“Sebagai permintaan maaf, aku membawakanmu kue dan sedikit minuman.” Rian mengeluarkan sebotol kaca yang terlihat familiar di mata Mira.

“Aku tidak mau minum itu.” Mira menunjuk botol yang baru saja dikeluarkan Rian.

“Kenapa?” Rian mulai mengendus, menghirup udara di sekitarnya. “Aku masih mencium aroma alkohol di ruangan ini.”

“Itu diriku yang dulu. Lagipula, Wati akan memarahiku habis-habisan.”

“Siapa Wati?” tanya Rian penasaran, menunjukkan ketertarikan dengan memiringkan kepala ke arah kanan.

“Adikku. Usianya tidak begitu jauh,” jawab Mira.

“Oh, kamu punya adik rupanya? Belum pernah menceritakan itu sebelumnya.”

“Apa tujuanmu datang ke sini?” Mira bertanya.

“Tentu saja untuk bertemu denganmu. Apa lagi?”

“Bukan mau bahas mutasi?”

“Kau serius?” Mata Rian membelalak karena terkejut. “Sepertinya kamu sudah berdamai dengan hal ini jadi kita tidak perlu membicarakannya.” Senyuman pun muncul di wajahnya. “Oh ya, aku belum selesai dengan pembahasanku tadi.”

“Jadi, kamu punya adik. Berarti hanya kalian berdua yang tinggal di rumah ini. Bagaimana dengan orang tuamu?”

“Ya, itu karena rumah ini lebih dekat dengan tempat masing-masing kami bekerja. Singkatnya, kami tinggal di sini untuk bekerja. Sementara orang tua kami tetap berada di rumah mereka. Kami tetap saling bertukar kabar kok, masih ngobrol meski via telepon.”

“Betul juga. Tempat baruku lebih dekat dengan rumah mereka. Aku jadi bisa sering ketemuan sama mereka secara langsung.”

“Kamu terdengar siap sekarang. Jadi, kapan kamu mau bekerja?”

“Kemungkinan besok, aku sudah mulai.”

“Bagus, aku suka itu.” Mendengar kalimat itu, Mira tersipu.

“Sayang, berarti kita harus berpisah untuk sementara. Sebelum itu, mari gunakan waktu sekarang dengan sebaik-baiknya.”

Mereka pun mulai memakan kue yang dibawa oleh Rian kemudian berbicara berbagai hal sampai kue tersebut habis. Setelah merasa cukup, Rian pun berpamitan dengan Mira. Mira pun mengantarkan Rian sampai ke depan pintu kemudian memeluknya sebagai tanda perpisahan. Rian agak terkejut dengan pelukan itu dan dia pun pergi.

Mira kembali ke sofa di ruang tamu sambil menguap, mulutnya terbuka cukup lebar saat dia mulai merenggangkan tubuh kemudian menjatuhkan diri di atas sofa. “Habis makan langsung ngantuk.” Dalam posisi duduk, kepalanya mulai terangguk dengan sendirinya seiring matanya mulai terpejam.


“Kakak?”

Suara itu ditambah bantingan pintu yang terdengar sampai ke ruang tamu membangunkan Mira. “Sial, aku tertidur.”

Tidak hanya Mira, Wati turut terkejut melihat sebuah botol kaca tergeletak di bawah meja. Saking kagetnya, bawaan Wati hari itu terlepas dari tangannya.

“Bukankah sudah kubilang aku gak mau lagi lihat kakak begini? Itu berarti aku nyuruh kakak buat berhenti.” Nada Wati terdengar berbeda. Dia agak marah dan wajahnya pun muram. “Apa perlu aku panggil ibu dan ayah agar mereka datang ke rumah ini?”

Mira sempat bingung dengan apa yang Wati lihat kemudian baru saja menyadari keberadaan botol kaca itu dan langsung memandang Wati.

“Tidak, aku tidak melakukannya. Jangan panggil mereka untuk ini, aku mohon.” Mira memelas dan turun dari sofa. Wajahnya menahan tangis, tidak mau air mata titik setetes pun.

“Kalau begitu, jelaskan.”

“Ini punya temen kakak. Dia tadi datang ke sini.”

“Siapa dia?”

“Dia adalah orang yang kakak sayangi.” Wajah Mira mulai memerah saat mengucapkan kalimat itu.

“Hah? Jangan bilang dia adalah pacar kakak.” Mira hanya mengangguk dan itu memunculkan ekspresi Wati yang semakin terlihat marah. “Kakak polisi lo. Ini kalau aku pribadinya, pas denger polisi udah nikah, terus suami istri, itu masih wajar, tapi pacaran?”

Wajah Mira terlihat murung karena kekesalannya. “Gak. Aku gak nyalahin kakak, tapi sekali lagi bagiku, kayak aneh pas didenger.”

Wati kemudian tertawa kecil. “Kalau di depanku ini bukan kakak, aku bisa tidak percaya.” Dia pun mengambil bawaan yang dia jatuhkan kemudian mengantarnya ke ruang makan, untuk memasukkannya ke dalam kulkas.

Saat membuka kulkas, Wati heran ketika memandang isinya, bawaan dia pada malam sebelumnya seakan tidak tergerak sedikit pun. “Kakak belum makan yang di sini?” tanya Wati.

“Nanti saja.”

“Kenapa?”

“Aku sudah makan barusan karena dia bawakan. Karena kenyang, ngantuk, terus ketiduran. Baru bangun pun masih kenyang juga.”

Wati menutup pintu kulkas dengan keras. “Oh, jadi kakak lebih milih bawaan dia daripada bawaan aku, gitu?”

“Gak–gak gitu.” Mira mulai berdiri dari sofa di ruang tamu dan bergerak untuk mendekati Wati di ruang makan.

“Wati, kamu seharusnya tahu–”

Wati menyadari kedatangan Mira dan berdiri dengan tegak. “Kakak seharusnya fokus dalam pekerjaan kakak. Aku takut hubungan kakak sama dia malah berpengaruh buruk.”

“Jangan-jangan, kakak dimutasi karena itu?”

“Wah, kamu hari ini benar-benar marah rupanya.” Mira berkacak pinggang. “Apakah kakakmu ini pernah tidak tepat janji sebelumnya?”

Wati tidak menjawab pertanyaan itu dan membawa barangnya menuju kamar. Mira hanya diam di sana sambil memperhatikan langkah marah Wati kemudian tertawa kecil. “Jangan pernah berubah.”

“Aku akan mengikutinya.” Mira mulai bergerak menuju kamar Wati, mencoba masuk dan ternyata terkunci dari dalam. “Apa yang membuatnya begitu kesal?”

Mira kembali ke ruang makan dan duduk di salah satu kursi. Dia meletakkan siku kanannya di atas meja untuk memangku kepalanya. “Apakah karena aku tidak memakan apa yang dia bawa? Atau karena aku belum pernah menceritakan Rian sebelumnya? Aku takut dia mendapat masalah lain.”

Mira tiba-tiba memukul meja. “Ucapanku tentang belum pernah ingkar janji, rupanya banyak.”

“Menjadi seorang wanita yang baik, nyatanya mabuk hampir jadi keseharian. Menceritakan apapun yang terjadi untuk membalas Wati, nyatanya aku merahasiakan keberadaan Rian darinya.”

Mira sekali lagi menuju pintu kamar Wati. Berdiri tepat di depan pintu, Mira berucap, “Wati, maafkan kakak.”

Komentar