arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Pria-pria dewasa sedang berkumpul di pos ronda yang hanya diterangi sebuah lampu. Jalanan mulai sepi ditambah pencahayaan yang remang-remang. Ditemani beberapa cangkir kopi yang telah diseruput serta adanya sebuah papan catur yang permainan di atasnya hampir skak, mereka membicarakan berbagai hal sampai seseorang yang seperti terlambat datang mengangkat topik baru.

“Eh, kalian ada liat Amin?” tanya orang itu. “Kalau aku sendiri, belakangan gak lihat sih. Sering lewat depan rumahnya, heran juga kenapa gelap pas malam kayak sekarang.”

Ada yang menjawabnya dengan kata-kata, “Gak.” Ada pula yang menyahutnya hanya dengan gelengan kepala. Jawaban yang sama, mereka tidak melihat keberadaan Amin.

“Kira-kira, ke mana perginya? Biasanya dia bilang sama kita kalau mau pergi jauh.” Mereka terlihat setuju sambil mengangguk pelan. “Padahal dia baik banget.”

“Apakah kalian sudah melaporkannya ke polisi?”

“Belum,” sahut salah seorang.

“Begini saja. Bagaimana kalau kita menemui kepala desa untuk meminta bantuan dalam mengurus semua hal, dan kami juga akan bertanggung jawab atas segala hal buruk yang mungkin terjadi.”

“Sekarang? Jam sekarang takutnya beliau udah tidur.”

“Kalian emangnya udah jalan?”

“Belum juga sih.”

“Nah, sekalian aja. Siapa tahu beliau belum tidur.”

Dipimipin oleh orang yang mengadu barusan, warga yang tadinya sekadar duduk di pos ronda, bangkit dari tempat dan bersiap untuk berjalan. Cahaya dari senter dan lentera yang mereka bawa menjadi penerangan di kala mereka menapaki dinginnya hawa jalanan.

Dalam kegelapan malam, mereka memerlukan waktu yang lebih lama dibanding siang untuk tiba di rumah kepala desa. Perwakilan dari mereka mengetuk pintu dan memanggil kepala desa.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, sang kepala desa membuka pintu dengan hanya mengintip dari belakang. “Ada apa malam-malam?” tanyanya dengan suara serak kemudian berdeham.

“Bapak belum tidur?”

“Bagaimana aku bisa berdiri di sini sekarang kalau iya?” Sang kepala desa pun keluar dari rumah sepenuhnya, berdiri di depan pintu untuk menghadap beberapa dari masyarakat. “Ada apa memangnya?”

“Aku harap kedatangan kami tidak mengganggu Bapak, tapi kami sekarang mengharapkan bantuan Bapak untuk mencari Amin.”

“Udah berapa hari ini, dia gak keliatan.” Nada bicaranya terdengar gelisah.

Sang kepala desa diam sejenak sambil memandang ke atas, bersandar di pintu. “Ah, Amin yang itu. Memang dia memiliki pengaruh yang cukup besar juga. Mau nyari ke mana?”

“Bantu laporin ke polisi aja. Kalau dia di sekitar sini, kami bakal ketemu. Belum ada tanda-tanda kalau dia ada. Menurut kami, alangkah baiknya diserahkan kepada polisi saja agar mereka yang akan mencarikan.”

“Baiklah. Terima kasih atas informasinya. Mungkin besok aku akan mengurusnya.” Sang kepala desa mulai membuka pintu untuk kembali masuk sebelum tersadar. “Kalian hari ini yang jaga ronda?” Dia bertanya kepada masyarakat yang bersiap untuk berjalan.

“Karena kalian udah jalan, bagusnya kalian terusin aja. Siapa tau ternyata ketemu sambil jagain kampung.”

“Siap, pak. Selamat malam dan selamat beristirahat.” Ucapan itu menjadi pemisah antara mereka ditambah kepala desa yang masuk ke rumah dan langsung menutup pintu setibanya di dalam.

Orang-orang itu pun mulai berjalan. “Tuh kan, bener. Beliau aja udah tau, kalau kita ke rumah beliau sekalian jalanin ronda.” Mereka kemudian tertawa.


Langit biru cerah menandai hari telah berganti dan berawan ditambah angin sepoi-sepoi menjadi atap serta penghias dari perjalanan sang kepala desa menuju kantor polisi dengan mengendarai motor bebek. Perjalanan berlangsung cukup lama, sebelum dia tiba di sana.

Saat sampai dan setelah memarkirkan motornya, sang kepala desa menyampaikan maksudnya kepada orang-orang yang berada di luar kantor dan mereka pun mengarahkannya untuk masuk.

Dari pintu kantor, salah satu dari mereka yang mengantarkan menunjuk satu meja. “SPKT.” Sang kepala desa mengangguk dan berjalan menuju meja tersebut.

Setelah melewati beberapa prosedur, sang kepala desa pun menyampaikan maksud kedatangannya ke kantor polisi saat itu. “Kami ingin melaporkan orang hilang. Namanya Amin, tingginya kurang lebih sama dengan saya.” Dia pun terus menjelaskan secara fisik bagaimana Amin terlihat karena tidak memiliki foto Amin yang dapat menjadi pembanding.

Tanpa dia sadari, Kombespol Riyadi sedang berjalan di lobi dan mendengar bagaimana sang kepala desa menjelaskan segalanya. Dia pun bergegas untuk kembali ke ruangannya, untuk mengambil sebuah berkas dan membawanya menuju meja SPKT.

“Permisi, mohon maaf mengganggu.” Kombespol Riyadi menyapa. “Apa benar ini orangnya?” Kombespol Riyadi membukakan berkas itu dan menunjukkannya kepada kepala desa.

Sang kepala desa begitu terkejut sampai dia langsung berdiri. “Ya, ini orangnya.”

Kombespol Riyadi menutup berkas tersebut sambil mundur perlahan. “Mohon maaf sebelumnya. Untuk sementara, dia berada di rumah tahanan karena diduga terlibat dalam perdagangan narkoba.”

“Amin yang kukenal tidak akan melakukan tindakan seperti itu. Dia tidak akan pernah mau memperjualbelikan barang haram itu.” Sang kepala desa mengucap dengan tegas.

“Dia memang tidak terbukti melakukannya.” Anggota-anggota kepolisian lain seakan secara serentak menatap Kombespol Riyadi. “Baru saja, kami telah menemukan kecacatan pada barang bukti yang memberatkan sehingga dapat membatalkan keputusan sebelumnya. Ada kemungkinan hari ini atau besok dia akan dibebaskan dan kami usahakan secepatnya.”

“Kami sangat memohon maaf atas kelalaian ini sehingga menahan orang yang tidak bersalah. Kami akan belajar dari kejadian ini agar kesalahan yang kami lakukan tidak terulang.”

“Terima kasih. Aku akan menyampaikan kepada masyarakat di desa tentang ini.” Sang kepala desa menunduk kemudian berpamitan dari kantor polisi.

“Hati-hati di jalan,” ucap Kombespol Riyadi.

Sambil berjalan menuju ruangannya dengan menenteng berkas yang dia bawa, Riyadi menyadari rekan-rekannya yang masih terdiam memandangnya. “Kalian kembalilah bekerja.”


“Bagaimana, pak? Tanggapan dari pihak kepolisian?” Sang kepala desa bahkan belum sampai ke depan rumahnya, sudah dihadang oleh orang-orang yang sama seperti tadi malam. Mereka yang tadinya duduk untuk menunggu kedatangannya, berdiri menyambut ketika sang kepala desa tiba.

“Kalian menungguku di sini?” Sang kepala desa turun dari motor dan melepas helmnya, mengungkapkan ekspresi heran yang terlihat jelas di wajahnya. “Udah lama?”

“Gak juga,” jawab salah satu dari mereka secara singkat. “Jadi, gimana?”

“Kalian nampaknya sudah tidak sabar,” ucap sang kepala desa. “Saat ini, Amin sedang berada di rumah tahanan karena diduga turut serta dalam perdagangan narkoba.”

“Tidak mungkin!”

“Begitu pula kataku saat di sana,” balas sang kepala desa.

“Betul sekali. Amin tidak akan pernah melakukan hal itu. Kita harus mengunjunginya.”

“Menurutku, itu tidak perlu. Aku percaya dengan omongan salah satu polisi di sana. Hari ini atau besok, Amin akan pulang.”

“Jadi ya, kalian selamat bekerja, karena sekarang sudah saatnya aku ke kantor.”

Komentar