arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

“Kamu berhentilah mengikutinya terus. Tindakanmu ini bisa saja membuatnya tidak nyaman.” Sipir sepertinya sudah muak dengan kelakuan Gunawan yang selalu mengikuti Amin ke mana pun perginya.

“Anda tidak tahu seberapa cerdas dan baiknya orang ini.” Gunawan memuji Amin.

Amin tidak terpengaruh dengan pujian tersebut dan terus berjalan. “Ke mana kamu akan pergi di dini hari seperti ini?”

“Aku akan menuju musala untuk beribadah.”

“Bolehkah aku mengikutimu lagi kali ini?” tanya Gunawan sekali lagi.

“Ini adalah kesempatan terakhir yang aku berikan kepadamu. Aku merasa sudah saatnya diriku meminta hak privasi.”

“Aku akan mematuhimu. Terima kasih atas kesempatannya selama ini.”


Amin dan Gunawan tiba di musala dan Amin berhenti di depannya. Alih-alih langsung masuk, Amin pergi ke samping dan Gunawan hanya melihat dari kejauhan. Amin memasuki kamar mandi untuk beberapa waktu, kemudian keluar dan menyalakan keran agar air mengalir.

Amin mencuci tangannya terlebih dahulu kemudian berkumur. Dia pun menyingsingkan lengan bajunya. “Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Gunawan.

“Kami percaya selain ini menjadi perantara yang memperbolehkan kami beribadah sebagai penyucian, setiap tetesan air yang telah menyentuh bagian-bagian tubuh ini akan menggugurkan dosa-dosa atas kesalahan yang telah diperbuat.”

“Aku ingin melakukannya juga.”

“Aku akan melakukannya dengan pelan. Kamu bisa melihatnya saja dahulu atau langsung mengikuti sambil melihat. Saat aku melakukannya, aku tidak akan bicara, jadi jangan banyak tanya.”

Gunawan memutuskan untuk mengikuti Amin sambil melihatnya, meniru setiap tindakan Amin dalam setiap tahapannya. Tidak lama setelah mereka selesai, orang-orang lain turut berdatangan dan pada akhirnya mereka memasuki musala.


Kewajiban peribadahan pagi itu telah usai namun para jamaah tidak langsung membubarkan diri. Mereka tetap berkumpul di sana dengan sang Imam bersiap di depan barisan. Gunawan yang diam di belakang barisan sambil memahami tindakan jamaah sampai Amin mundur untuk menemani.

Sang Imam mengucapkan salam yang disahut jamaah, memulai kegiatan. “Segala puji bagi Tuhan pencipta dan pengatur segala alam. Karena anugerah-Nya, kita masih mendapatkan kesempatan untuk berkumpul di tempat ini dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.”

“Yang akan kita bahas hari ini adalah Taubat. Secara bahasa, taubat berarti kembali. Itu menunjukkan, ada beberapa tahapan agar kita dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita hanyalah manusia, yang bisa saja telah mengambil keputusan untuk menjauh dari Tuhan dengan melakukan segala tindakan kesalahan. Mulai sekarang, gunakan kesempatan yang Tuhan berikan untuk kembali kepada-Nya.”

“Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, berhenti dari berbuat kesalahan. Kalian sebenarnya adalah orang-orang yang sangat beruntung. Tuhan memilih kalian dan melakukan cara-Nya yang dipandang manusia buruk, tidak disukai dan pandangan negatif lainnya, padahal itu adalah cara terbaik Tuhan menghentikan kalian dari berbuat kesalahan.”

“Kedua, menyesal telah berbuat kesalahan. Ada rasa sedih yang tidak dapat dijelaskan melalui kata-kata, dan rasa bersalah itu tidak dapat disembunyikan juga.”

“Ketiga, berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Kita harus menanamkan rasa komitmen yang sangat tinggi dan bahkan munculkan rasa benci pada perbuatan buruk itu.”

“Wah, aku tersadar inilah maksudmu bahwa Rangga tinggal selangkah lagi.” Gunawan menepuk paha Amin. Amin hanya tersenyum dan memberikan isyarat untuk diam dengan meletakkan telunjuk di depan bibir. Mereka terus mendengarkan penyampaian Imam sampai matahari terbit.

“Jika kalian telah menjalani ketiga tahapan tadi, maka ampunan dari Tuhan-lah yang akan segera menghampiri. Engkau yang telah bersih dari segala kesalahan, tidak apa orang masih membenci karena pandangan negatif mereka tentang orang yang masuk penjara, asalkan Tuhan cinta kepada kita.”

Dengan mengucap salam, Imam menandai bahwa ceramahnya telah berakhir. Jamaah berpamitan dengan sang Imam dan sebagian dari mereka mulai keluar dari musala.

“Sebelumnya, aku telah memintamu untuk menjauh dariku bukan. Sekarang, engkau sudah melihat beliau, maka tanyakan saja kepadanya, segala pertanyaan yang masih mengganggu pikiran.”

Gunawan mengangguk. Dia menatap sang Imam sebentar sebelum tersadar. “Tunggu dulu, biar kutebak. Ketika kamu sempat bilang kalau masyarakat di kampung bakal nyari kamu, kamu adalah orang yang duduk di sana seperti dia?”

Amin memalingkan wajahnya bersiap untuk pergi. “Wah, dugaanku sepertinya benar.” Gunawan pun mengikuti Amin untuk kembali ke ruangan mereka.

Baru tiba di lorong, sudah ada yang menunggu mereka. “Amin, kemari!”

“Sipir memanggilmu.” Gunawan menyenggol lengan Amin menegaskan.

“Ada apa?” tanya Amin bergegas menghampiri.

“Selamat, kamu dibebaskan hari ini. Tidak lama lagi kamu akan dijemput dan akan dipulangkan.”

“Bagaimana dengan kami?” Rangga mendengar pembicaraan itu dari ruangannya dan berbicara di balik pintu.

“Kalian dipindahkan ke ruang tahanan lain dan akan dipisahkan.”

“Kalian memang tidak adil rupanya,” ucap Rangga dengan kesal.

“Kesalahan kalian masih terbukti kuat dan tidak ada yang berubah. Kalian tetap berada di dalam sini dan pemindahan kalian juga akan berlangsung sebentar lagi.”

Amin menarik Gunawan mundur. “Gunawan.”

“Waktuku di sini terlalu singkat, dan aku takut gagal menyelamatkan temanku Rangga.”

“Aku memberimu amanah yang semoga kamu sanggup menanggungnya.” Amin menepuk pundak Gunawan. “Jagakan Rangga untukku.”

“Aku usahakan.”

“Aku akan tetap berkunjung ke sini semampuku.”

“Kapan kami akan dipindahkan?” tanya Rangga yang terdengar di telinga Amin dan Gunawan.

“Segera setelah kalian menyelesaikan sarapan,” jawab sang sipir sambil

Rangga menatap wajah Amin dengan kesal sambil berjalan lebih dahulu menuju kantin. “Kita akan langsung ke sana?”

“Kamu duluan saja. Aku ada yang ingin dibicarakan terlebih dahulu dengan sipir.”

“Baiklah. Kami menunggumu di sana.”

Amin kembali menghampiri sipir. “Apa yang terjadi?”

“Katanya pembelaanmu diperiksa ulang dan baru saja diterima. Kamu terbukti tidak bersalah sehingga pantas dan berhak untuk dibebaskan. Aku tidak tahu bagaimana detailnya.”

Terdengar suara dari radio milik sang sipir. “Jemputanmu sudah datang sekarang. Menurutku, ada baiknya kamu menunda sarapan dan memilih untuk pulang saja.”

“Anda masih ingat orang yang dikeluarkan barusan?”

“Ya, kenapa?”

“Aku juga akan memintakan kepada Anda. Namanya Rangga. Tolong jagakan dia untukku.”

“Aku mendengar kamu juga memberitahukan kepada teman satu ruangan lain sebelumnya.”

“Tunggu, jika Anda mendengarnya, apakah Rangga juga akan mendengar itu?”

“Aku tidak tahu. Suaramu sebenarnya sayup-sayup tapi aku sebagai seorang sipir, telah terbiasa dan terlatih untuk mendengar suara seperti itu demi keamanan tempat ini. Entah berapa banyak yang merencanakan hal negatif, termasuk temanmu, Rangga itu.”

“Jadi, selama dia masih ada di sini, kami berjanji untuk menjaganya.”

“Terima kasih. Saya izin berpamitan dahulu.”

Amin pun berjalan keluar. Waktu berlalu cukup lama, sampai Rangga dan Gunawan kembali dari kantin.

“Ke mana Amin tadi?” tanya Gunawan.

“Dia sudah pergi,” jawab sang sipir. “Kalian, kembalilah masuk. Aku akan mengarahkan ke ruangan baru kalian.”

Komentar