arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

“Wati, kakak pulang!” ucap Mira sambil memasuki rumahnya yang hening, tanpa suara. Pencahayaan yang kurang agak menyusahkan Mira untuk melihat rumah namun dia masih bisa berjalan dengan nyaman. Dia menaruh kunci mobilnya di atas meja kaca depan sofa dan langsung menuju kamar Wati.

“Wati, kamu masih di dalam?” Mira terus mengetuk pintu kamar Wati tapi tidak ada sahutan. Mira pun menempelkan telinganya di pintu untuk menguping dengan niat mendengarkan suara dari dalam kamar dan masih tidak ada tanda respon.

Mira menarik napas dan menyiapkan diri. Dengan memegang gagang pintu kamar, dia mendorongnya dengan tenaga besar dan tanpa sengaja membanting pintu itu begitu keras. Dari posisi Mira berdiri, dia melihat dan menyadari bahwa kamar itu kosong, mengetahuinya melalui cahaya lampu tidur yang belum dimatikan.

Mira menyadari tindakan dia barusan. “Kenapa kakak mendobrak pintu kamarku?” Pertanyaan itu mengejutkannya dan sontak mundur untuk melihat siapa yang bersuara. Itu adalah Wati dengan wajah yang kurang menyenangkan, dan tatapan dingin ke arah Mira.

“Aku kira kamu masih berada di dalam dan ruangan ini terkunci.” Mira mencoba untuk memberikan alasan sambil menunjuk ke dalam kamar.

“Pergilah!” perintah Wati dengan suara nyaring. Alasan yang baru saja diberikan oleh Mira ditolak mentah-mentah. Dia pun terdiam, belum pernah mendengar Wati bersuara seperti itu sebelumnya.

“Ayolah. Seberapa marah kamu memangnya?” tanya Mira sambil memegang kepalanya sendiri kemudian mengusap wajah. “Bayangkan jika sesuatu terjadi denganmu dan aku tidak memeriksamu?”

Wati menunjuk ke pintu secara tegas sambil memalingkan muka. Mira menarik napas dengan berat, berjalan dengan tanpa suara seraya menunduk untuk menuju ke luar pintu. Wati melihat kunci mobil Mira di atas meja kaca depan sofa dan mengambilnya.

“Jika kamu memberiku kesempatan, aku akan membawanya dan memperkenalkan kepadamu.”

Wati melempar kunci itu kemudian menutup pintu dengan keras sampai anginnya terasa di tubuh Mira. Bunyi mengunci dari dalam terdengar oleh Mira yang masih berdiri di sana. Mira mencoba membukanya dan memang tidak bisa.

“Aku baru saja akan memperkenalkan Rian kepadanya.” Mira bingung sekaligus heran saat dia mulai masuk mobil. “Apa yang sebenarnya membuat dia marah?”


Dalam kegelapan malam, Mira berkendara di jalanan yang sudah sedikit orang berlalu-lalang. Toko-toko sederhana yang berada di pinggir jalan sudah tutup. Mira menyalakan ponselnya sebentar untuk melihat jam kemudian berkata, “Semoga cepat sampai.”

Perjalanan memerlukan waktu lama, namun akhirnya Mira tiba di tujuan. Sebuah rumah yang terlihat sudah dibangun sejak lama dan kondisinya tidak terlalu sempurna lagi. Sembari keluar dari mobil, Mira terdiam sejenak untuk berpikir sebelum mendekati rumah itu.

Sesampainya di depan pintu, Mira mengetuknya secara berulang. Dia pun menunggu cukup lama, sampai pintu itu ada orang yang membukakan. Orang tua lelaki, keluar dari rumah memicingkan matanya untuk memperhatikan siapa yang sedang berada di hadapan. “Mira?”

“Akhirnya kamu pulang juga, nak.” Dia memeluk Mira. “Kenapa harus malam-malam seperti ini?”

“Maaf, baru bisa sekarang.” Mira menunduk dan berkata dengan nada rendah.

“Di mana Wati?” tanya seorang wanita yang turut muncul di belakangnya. Mereka adalah orang tua dari Mira, di rumah yang ditinggali sejak lama, tempat Mira dan Wati dilahirkan serta dibesarkan.

“Dia belum mau ikut,” jawab Mira.

“Kenapa?” Ibu Mira kembali bertanya.

“Ya, begitulah. Mungkin ada kesibukan yang harus dia kerjakan terlebih dahulu.” Mira memberikan senyuman Aku yakin dia akan datang ke sini kok.”

“Apakah kamu akan makan dulu?” tanya Ibu Mira lagi.

“Tidak, aku ingin langsung tidur saja.”

Ibu Mira menepuk lengan Ayah Mira. “Ambilkan kasurnya. Hampar di kamar itu.”

“Tidak usah, aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Mira sambil masuk ke dalam rumah. “Kamarnya masih yang itu kan?”


Mira terbangun dari tidurnya dan berjalan ke kamar mandi. Menuju ke sana, dia melihat ibunya memasak di dapur. Setelah selesai mandi dengan cepat, Mira mendekati ibunya.

“Bolehkah aku membantu Ibu?” tanya Mira menawarkan.

“Tidak usah juga tidak apa-apa.”

Mira tidak memperdulikan itu dan tetap membantu ibunya memasak sementara ayah yang sudah bangun membantu menyiapkan meja makan bundar untuk makan secara lesehan sebelum mandi.

“Bagaimana pekerjaanmu sebagai polisi, Mira? Ibu Mira bertanya.

“Aku sering membaca koran. Nama dan wajahmu terlihat begitu sering terpampang di sana. Aku terus membanggakan hal itu kepada ibumu, Mira.” Mira hanya bisa tersenyum dengan pujian dari ayahnya itu tanpa menyahut.

“Aku hampir tidak percaya itu kamu karena terlihat cukup berbeda. Rupanya kamu memang begitu sibuk sehingga jarang bisa berkunjung ke sini.” Ibu Mira memberikan nasi berlebih untuk anaknya. “Untungnya sekarang kita bisa berkumpul, meski Wati belum bisa datang.”

“Terima kasih,” ucap Mira dengan suara bergetar sambil menunduk. Ibu Mira bingung dengan tindakan Mira bagusan. Mira mencoba bertingkah normal dengan mengambil makanan tapi tangannya yang goyah tidak bisa menyambutnya dengan sempurna sehingga harus diambilkan sang ayah.

“Bagaimana jika aku belum dapat menjadi anak yang baik?” Mira bertanya dengan isak yang mulai terdengar.

“Nak, kamu jangan bicara seperti itu.” Ayah Mira merangkul anaknya. “Apa yang aku baca di koran, aku yakin memang kamu yang melakukan itu. Itu buktinya, kamu sudah baik, tinggal teruskan saja.”

“Bagaimana pendapat kalian juga, jika aku memiliki rasa sayang dengan seorang lelaki saat ini?”

Ibu Mira terkejut mendengarnya dan memandang sang anak untuk fokus mendengarkan.

“Tidak ada yang salah dengan itu, namun kamu harus bisa mengendalikan dirimu sendiri agar tetap berada di jalan yang benar. Sudah bagus kamu mencoba menyampaikan itu kepada kami. Kami hanya bisa memberikan saran atau solusi, kamulah yang pada akhirnya memilih untuk mendengarkan atau melakukan yang mana.”

“Wati bilang itu aneh.” Mira mengadu.

Ibu Mira tertawa kecil mendengarnya. “Jadi, kalian sebenarnya sedang bermusuhan sekarang sehingga kamu ke sini dan Wati tidak datang ke sini?” tanya Ibu Mira. Mira memandang wajah ibunya yang masih tersenyum kemudian mengangguk dan terus menunduk.

“Bagi anak seumuran dia, itu bisa saja terdengar aneh. Siapa tahu dia tidak mau untuk saat ini rasa sayang yang kamu berikan akan terbagi.”

“Aku rasa itu sebaliknya. Dia tidak jauh berbeda dari ibu. Selama ini, lebih sering dia yang menyiapkan makanan untukku dan membelikan juga.”

Ibu Mira diam sejenak. “Apakah kamu sudah minta maaf kepadanya?”

“Sudah, dan dia sepertinya tidak mau memaafkanku.”

“Berapa hari dia seperti itu?”

“Beberapa hari belakangan ini.”

“Ah, palingan besok sudah baik lagi,” celetuk Ayah Mira. “Yuk, makan. Kamu masih kerja hari ini kan? Makan yang banyak, biar kuat.”

Komentar