arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Ruang interogasi kembali terisi oleh tersangka yang ditangkap dari sudut taman kota karena sedang jual-beli barang haram sesuai laporan yang didapatkan Rian. Tim dari satuan narkoba kembali berhasil untuk menyelidiki sebuah kasus.

“Dari mana kalian mendapatkan ini?” tanya Briptu Dewi dengan tegas sambil memukul meja. Bripda Wijaya menunjukkan barang bukti yang akan mereka perjual belikan.

“Aku membelinya secara online dan hanya mengantarkan kepada yang ingin membelinya lagi.”

Dewi kesal mendengar jawaban itu sehingga keluar ruangan untuk pergi ke belakang cermin dua arah, memandangi tersangka dari sana. “Jawaban mereka selalu sama.” Dia mengeluh.

“Memang begitu kenyataannya.” Kombespol Riyadi yang mengawasi dari awal berucap demikian.

Dari pintu ruangan, seorang aparat polisi masuk kemudian membisiki Riyadi. Mata Riyadi terbelalak mendengar bisikan tersebut dan muncul raut wajah gelisah di mukanya. “Selidiki lebih lanjut tentang bagaimana dia membelinya secara online. Apakah kita nanti dapat mengaksesnya atau paling tidak menghentikan dari sana terlebih dahulu.”


Riyadi berjalan dengan cepat di lorong rumah sakit untuk mencari sebuah ruangan yang telah dilaporkan kepadanya. Di luar ruangan yang dimaksud, dia menemui seorang dokter yang baru saja keluar dari sana. “Bagaimana keadaannya?”

“Dia sudah mulai pulih.” Riyadi mulai lega mendengar pernyataan tersebut.

“Apakah saya boleh masuk?” tanya Riyadi.

“Silakan saja.” Riyadi mengangguk kecil kemudian memasuki ruangan secara perlahan.

Di dalam ruangan, Riyadi menemui Rian yang terbaring dengan lengan atas dari tangan kiri yang diperban. “Ah, Pak Kombes.” Rian mencoba bangun perlahan kemudian merintih dan kembali terbaring.

“Tubuhmu masih perlu beristirahat. Jangan paksakan dahulu. Berbaring saja untuk sementara.”

“Ceritakan bagaimana kejadiannya, Rian.”

“Aku berhasil menemui bandar yang kumaksud sebelumnya. Seharusnya kami hanya bertemu satu lawan satu, tapi rencana yang telah saya siapkan sebelumnya tidak dapat terlaksana dengan baik. Baku tembak pun akhirnya terjadi dan salah satu peluru mengenai saya.”

“Mereka langsung kabur setelah saya terkapar dan saat itulah saya melapor kemudian berakhir di sini sekarang.”

“Bagaimana kelanjutan kasus yang rekan saya selidiki, Pak?”

“Untuk sementara, mereka berhasil menahan tersangka dan sekarang dalam proses interogasi agar mendapatkan informasi lebih lanjut. Jadi, biarkan saja kami bekerja dan kami akan menunggumu kapanpun kamu pulih.”

“Terima kasih, Pak.”Riyadi pun keluar untuk kembali ke markas.


“Kenapa tadi, Pak?” tanya Dewi.

“Kalian sampaikan dulu sejauh mana hasil penyelidikan yang sedang berlangsung.”

“Kami telah mendapatkan informasi berkaitan dengan toko online tempat para tersangka membeli barang tersebut. Kami kemudian bekerja sama dengan Tim Cyber dan mereka menyatakan bahwa toko online tersebut berada dalam kepemilikan CV. Galanthus yang sedang kita selidiki sekarang.” Wijaya memaparkan sambil menunjukkan berkas. “Yang membuat heran adalah kenapa mereka tidak membelinya secara langsung saja?”

“Kalian perlu mengetahui tentang sistem pengantaran dalam toko online dan bagaimana cara mereka menghitung ongkos kirim. Untuk menyembunyikan identitas asli mereka, mereka bisa memilih tempat khusus untuk minta dibelikan saja. Aku rasa para kurir telah mengetahui bisnis ini dan mereka tidak akan mau mengantarkan hal tersebut. Intinya, mereka bekerja sama agar bisa mendapatkan barang itu dengan harga murah.”

“Pekerjaan yang bagus, semuanya. Kita sudah maju satu langkah sekarang. Masih banyak yang harus dilakukan, seperti mendatangi alamat yang kalian dapatkan barusan.” Riyadi memuji pekerjaan mereka.

“Alamat tersebut belum pernah kami datangi sebelumnya. Apakah Bapak memiliki saran?” tanya Wijaya.

“Persiapkan diri kalian dengan senjata dan rompi anti peluru. Tempat itu bisa saja berbahaya, dan mereka telah menjatuhkan salah satu rekan mereka.”

“Siapa?” Dewi langsung berucap.

“Rian. Dia dirawat di rumah sakit sekarang. Itulah alasanku kenapa pergi mendadak barusan, untuk menjenguknya dan mengetahui bagaimana keadaannya.” Mereka terkejut mendengar hal tersebut dari Riyadi.


Dewi dan Wijaya tiba di alamat yang telah ditentukan dan mendekat dengan hati-hati. Bangunan kosong yang besar adalah hal pertama yang mereka lihat dari kejauhan sambil mereka semakin bergerak maju.

Selama mereka terus menghampiri bangunan tersebut, Wijaya melihat adanya bekas darah yang sempat tergenang namun mulai mengering dan sudah tertutupi oleh debu jalanan. “Nanti kita panggil juga tim forensik untuk menyelidiki darah itu, namun kuduga di sanalah Rian tertembak.” Dewi mengangguk mendengar hal tersebut.

Saat mereka berbicara, beberapa orang berjalan dan melihat Dewi dan Wijaya yang berada di sana. “Jangan bergerak!” Mereka langsung mengangkat tangan dan diam di tempat sembari Dewi dan Wijaya mendekati mereka.

“Kalian ada saat waktu kejadian?” tanya Wijaya sambil memandang bekas genangan daraj.

“Kami hanya mendengar suara tembakan dan menemui seorang polisi yang terkapar. Melihat itu, kami ketakutan dan langsung pergi setelahnya.” Temannya mengangguk seakan menyatakan bahwa jawabannya sama.

Sambil memandangi sekitar, Dewi menyadari keberadaan kamera pengawas yang menggantung di sudut atap bangunan kosong itu. “Bagaimana kami dapat mengaksesnya?” Dia bertanya sambil menunjuk.

“Setahu kami kamera itu sudah lama rusak dan hanya jadi pajangan di sana.”

Wijaya menggeledah mereka sebentar dan tidak menemukan barang bukti kejahatan pada mereka. “Kalian boleh pergi.”

Mereka pun dibebaskan kemudian Dewi dan Wijaya mencoba mendekati bangunan kosong itu. Dewi bergerak terlalu cepat sampai harus dicegat Wijaya. “Tunggu dulu.”

“Kenapa?”

“Bangunan ini terlalu besar untuk dijelajahi dan kita belum mengetahui apa isinya. Mari laporkan ini dulu kepada Pak Kombes, dan mari bekerja sama dengan Satuan Intelijen dan Keamanan agar mereka dapat menggeledah tempat ini.”

Dewi mengangguk kemudian melapor melalui radio tentang keadaan sekarang kepada Kombespol Riyadi juga meminta bantuan kepada Satuan Intelijen dan Keamanan sebagaimana yang mereka rencanakan sebelumnya.

Mereka menunggu cukup lama sebelum Satintelkam datang di tempat. Mereka mendiskusikan tentang keadaan saat itu sehingga anggota Satintelkam siap untuk menggeledah.

Penggeladahan berlangsung selama puluhan menit dan Ketua Satuan Intelijen dan Keamanan melaporkan hasilnya kepada Dewi. “Kami tidak menemukan apa-apa. Bangunan ini benar-benar kosong dan barang di dalamnya tidak terlalu mencurigakan. Kalian bisa masuk karena kami telah menyatakan bahwa isinya aman.”

Dewi dan Wijaya mengangguk dan memasuki bangunan itu, masih dengan rasa waspada. Dengan bermodalkan senter dan senjata di tangan, mereka menjelajahi isi ruangan itu. Kursi-kursi kayu lapuk yang terlihat penuh dengan sarang laba berserakan di mana-mana beserta barang lainnya yang diselimuti dengan debu.

Setelah merasa selesai, mereka kembali ke luar untuk berbicara. “Dengan Bapak Riyadi yang mencurigai Rian, apakah mungkin dia bekerja sama dengan mereka untuk membuat alibi seperti itu?” tanya Dewi.

“Apa maksudmu?” Wijaya menjawab.

“Bagaimana jika mereka sepakat berbohong?”

“Terlalu banyak orang yang menjawab sama, sehingga menurutku itu tidak memungkinkan.”

“Aku sangat bingung sekarang. Bangunan ini kosong dan tidak ada tanda-tanda bahwa CV. Galanthus pernah bekerja di sini. Jika itu memang darah Rian, apakah benar dia menemui bandar dan terjadi penembakan di sini?”

“Ini pendapatku, jadi tolong dengarkan saja. Selama ini, CV. Galanthus memang pernah melakukan kegiatan produksi mereka di sini dan aku menduga mereka telah mendapatkan informasi tentang kedatangan Rian entah dari mana. Melihat adanya kursi kayu di dalam bangunan tadi, membuatku mempunyai ide tentang di mana mereka selanjutnya.”

“Di mana itu?”

“Sekolah kosong.”

Komentar