arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Ruangan kantor yang tadinya hening dihebohkan dengan kedatangan seseorang yang selama ini tidak mereka lihat. “Hei! Amin kembali!”

Mereka yang duduk pun berdiri sambil bertepuk tangan saat Amin memasuki ruangan. Isyarat yang dia berikan untuk meminta rekan kerjanya kembali duduk tidak cukup. Dia hanya berjalan dengan menunduk dan langsung menuju satu tempat, menemui sang atasan di ruangannya.

Pertemuan mereka diawali dengan jabat tangan dan sang atasan memeluk Amin setelah tidak bertemu. “Mohon maaf sebelumnya saya tidak dapat berhadir selama beberapa hari,” kata Amin sambil sedikit menunduk.

“Tidak apa, Amin. Kamu seharusnya tidak mengkhawatirkan hal tersebut.” Sang atasan menepuk pundak Amin. Amin cukup terkejut mendengar hal tersebut. “Kami telah mendengar apa yang terjadi kepadamu. Apakah kamu hidup dengan baik di sana?”

“Ya, syukurlah. Mereka sangat ramah kepadaku.”

“Apakah kejadian ini mempengaruhi pekerjaanku di sini?”

“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu. Kamu ada untuk kami di sini, maka sekarang kami ada untukmu. Apa yang kamu kerjakan sebelumnya, kamu tetap seperti itu mulai dari hari ini.”

Pertemuan antara mereka berdua tidak berlangsung begitu lama, dengan kedatangan seorang wanita yang terlihat begitu sibuk sehingga harus langsung menghadap dengan sang atasan. “Senang bertemu denganmu lagi, Wati.” Amin menyapanya.

“Kak Amin! Kakak akhirnya datang juga.” Wati terdengar gembira ketika mengucapkan kalimat tersebut. Sang atasan menyambut pekerjaan Wati yang diserahkan sementara Amin memandangnya.

“Selama ini dia bekerja keras bukan?” tanya Amin kepada sang atasan sambil menunjuk Wati dan pekerjaannya. “Jangan bilang hal-hal yang seharusnya aku kerjakan, dia juga yang mengambilnya?”

Sang atasan hanya tersenyum menjawabnya.

“Terima kasih, Wati, tapi lain kali, biarkan saja. Sekarang aku di sini bukan? Apa lagi yang harus kukerjakan jika kamu yang melakukannya?”

“Ada baiknya dia diberikan cuti.” Amin memberikan penawaran kepada sang atasan.

“Tidak perlu.” Wati langsung menyahut dan memberikan isyarat dengan telapak tangannya untuk menegaskan bahwa ia menolak.

“Mungkin aku saja,” celetuk Amin yang membuat sang atasan dan Wati memandangnya. “Bercanda.”

“Tapi aku memang ada niat untuk ke taman kota sih sore ini. Apalagi di sana satu-satunya yang seperti itu.” Amin memandang ke luar kemudian tersadar. “Kenapa saya berpikir ke sana?”

“Apa yang perlu saya kerjakan hari ini? Apalagi dia sudah mengambilnya, bukan?” tanya Amin.

“Duduk saja di kursimu dan kami akan mengabari.”

“Siap, Bos!” seru Amin dengan badan tegap.

“Hei, Amin.” Amin yang sedang berjalan menuju kursinya dihentikan oleh panggilan dari sang atasan dan membuatnya langsung berpaling. “Selamat datang kembali.” Amin mengangguk setelah mendengar ucapan tersebut dan melanjutkan tujuannya.

Amin dan Wati duduk di kursi mereka yang bersebelahan. Sambil bersantai menunggu pekerjaan yang akan segera dimulai, Wati mengajak Amin untuk berbicara.

“Ke mana saja, kakak Amin selama ini?” Wati bertanya saat waktu istirahat mereka. Amin merenggangkan punggung di kursi kemudian meminum air dari cangkir di atas meja.

“Atasan tadi bilang kalau kalian udah dengar,” jawab Amin.

“Mungkin aku terlalu sibuk, jadi hanya aku yang belum sepertinya.”

Amin tidak berbicara sebentar. Jemarinya mengetuk meja dan telapak kakinya mulai bergerak pertanda dia sedang berpikir. “Aku ditahan di rumah tahanan.”

Wati terkejut mendengarnya. “Kenapa?”

“Aku dituduh ikut serta dalam memperdagangkan narkoba.”

“Tidak mungkin. Pasti Kakak sekarang bebas karena tuduhan tersebut terbukti salah, kan?”

“Begitulah.”

“Yang kamu serahkan kepada atasan tadi, itu sebenarnya pekerjaan yang seharusnya menjadi tugasku, kamu juga yang melakukannya, bukan?” Wati hanya diam mendengar pertanyaan tersebut.

“Tenang saja. Aku tidak akan memarahimu, malah, aku hanya dapat bisa mengucapkan rasa terima kasih yang sebenarnya tidak terhingga atas segala bantuanmu selama aku tidak ada di sini.”

Pembicaraan mereka terhenti dengan kedatangan beberapa berkas di meja mereka. Amin memandang dengan senyuman kepada Wati yang langsung mengerjakan tugas.


Amin kembali ke ruangan sang atasan namun kali ini menyerahkan hasil pekerjaannya. “Bolehkah saya membicarakan beberapa hal?”

“Bicaralah dengan santai saja. Gapapa juga kok.”

“Jika masih ada kesempatan, sehat badan, umur panjang, dan kita masih bertemu di sini, Anda sebagai atasan nantinya, apakah akan membuka lowongan?”

“Itu nanti. Aku bahkan belum memikirkan sejauh itu, tapi selama aku menjabat, masih ada rencana untuk membuka lowongan. Kenapa kamu bertanya demikian, Amin?”

“Saat aku ditahan, aku kembali dipertemukan dengan seorang teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Dia bercerita kepadaku tentang kekhawatirannya mengenai pandangan orang lain jika dia kembali bekerja. Aku memohon maaf sebelumnya kepada Anda, aku meminta jaminan satu posisi untuk diisi dia nanti. Aku tidak mau dia terjebak dalam dunia gelap itu lagi.”

“Wah, niatmu baik sekali. Sebenarnya, aku bisa saja melakukannya, tapi aku harus melihat bagaimana dia bekerja dahulu.”

“Semoga doamu di awal tadi terkabul. Atau siapa tahu, bisa saja kamu yang berada di posisi ini nanti.”

“Ah, benar juga. Kamu sudah bicara dengan Wati?Dia akhir-akhir ini sering melamun.”

“Aku khawatir ada masalah yang dia hadapi, entah itu masalah keluarga atau lainnya.”

“Tadi saat waktu istirahat, dia baik-baik saja. Kami membicarakan beberapa hal dan aku tidak melihat sesuatu yang salah dengannya.”

“Hm, itu aneh. Berarti keadaannya sudah membaik. Baguslah. Kasihan juga kalau karena itu pekerjaannya terganggu.”

“Terima kasih, saya pergi dulu.”

“Terima kasih kembali.”

Amin kembali ke kursinya untuk membereskan barang yang harus dia bawa sebelum pulang karena sore telah tiba sebagai penanda bahwa jam kerja sebenarnya telah berakhir. Dia menyadari keberadaan Wati yang belum pulang, masih duduk di kursinya.

“Wati?” Amin melihat Wati yang sedang memandangi meja kerjanya dengan tatapan kosong. Panggilan tersebut mengagetkan serta menyadarkan Wati dari lamunannya. “Rupanya atasan benar,” gumam Amin.

“Ada masalah apa?”

“Bukan apa-apa.” Wati langsung bergegas membereskan barang-barangnya.

“Serius, kamu sepertinya perlu liburan.”

“Selama aku tidak sakit, tidak akan,” ucap Wati dengan tegas yang membuat Amin tertawa kecil. Wati menghela napas sejenak.

“Ketika aku mendengar Kakak menceritakan apa yang terjadi, aku tidak heran jika Kakak masih berada dalam pekerjaan ini mengingat kebaikan Kakak sehingga tidak mungkin melakukan apa yang dituduhkan. Hanya saja, bagaimana dengan mereka yang melakukannya secara sungguhan, apakah pantas mereka masih tetap dalam pekerjaan mereka?”

Amin bingung mendengar perkataan tersebut. Wati memandang Amin dan tersadar. “Jangan hiraukan. Itu hanya pikiranku yang tiba-tiba keluar dengan sendirinya.”

“Aku tidak tahu apa masalahmu yang sebenarnya, tapi aku berharap itu dapat segera diselesaikan. Aku ingin kamu istirahat dengan baik dan tidak terlalu memikirkannya secara berlebihan. Sampai jumpa besok, jika masih ada kesempatan. Aku pamit duluan.”

Komentar