Idris kembali dari dapur. Tapi kali ini, alih-alih membawa cangkir berisi air, dia membawa setangkai bunga mawar yang mengingatkanku kembali kepada 7 Juni enam tahun lalu, hari dimana aku meletakkannya di bawah pintu.
“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Pertanyaan Idris itu kurasa bertujuan untuk mengujiku.
“Aku masih hanya bisa meminta maaf dan terus berandai pada hari itu pula aku lebih berani untuk setidaknya mengetuk pintu.”
“Berarti kamu masih ingat ucapanku?” Aku mengangguk dan membuktikan ucapannya bahwa bunga itu awet seraya Idris menggoyang tangkai mawar yang telah disisihkan durinya itu dengan jempol dan telunjuknya. “Aku hanya ingin menunjukkannya padamu sekarang.”
Idris mulai dengan melepas kelopak mawarnya. “Kamu boleh merasakan bahwa itu hanya kain yang didesain sedemikian rupa.” Dia menyerahkan kelopak mawar itu kepadaku, dan dia benar, itu hanya kain.
“Lihat ini sebentar.” Idris memanggilku agar perhatianku terarah kepadanya. Dia memegang tangkai mawar yang telah disisihkan durinya itu, kemudian mengoyak kulitnya dan mengungkapkan adanya gulungan kertas di dalam tangkai. “Tangkai ini juga terbuat dari plastik, bahkan sepertinya bisa digunakan sebagai sedotan.”
Aku hanya tertawa kecil, tidak percaya setelah melihat apa yang sedang Idris lakukan. “Ada apa?” tanyanya penasaran.
“Hanya saja, aku pernah berkeyakinan melihat Dimas mengambilnya dari Taman dan dia menyisihkan duri mawar.”
Idris memandangku dengan senyuman kemudian membuka gulungan kertas itu. “Kamu mau membacanya?” Dia memandangku. Aku mengulurkan tanganku untuk menyambut ketika dia menyerahkannya. Aku mulai membaca isi surat itu.
Halo, Muhammad Idris. Aku yakin itu namamu berdasarkan petunjuk di persidangan. Ini aku Dimas, menuliskan surat untukmu. Sudah lama aku tidak bertemu, dan penasaran bagaimana kabarmu. Karena itu, ucapan terima kasihku hanya akan disampaikan melalui surat ini. Terima kasih, Idris. Ucapanmu yang mengajak kepada kebaikan telah membantuku kembali ke jalan yang benar, meski aku menjalaninya perlahan. Aku berharap kamu membaca surat ini dan mari bertemu di masa depan. Salam dariku, Sang Ilusionis.
Ah, aku merasakan hal yang ironis. Dimas tidak sempat bertemu Idris yang sekarang, tapi paling tidak, Idris dan aku mengunjungi makamnya.
“Seharusnya aku tahu.” Idris mengulang ucapannya saat pertemuan kembali aku dengannya. “Jika aku melakukan pengarsipan koran seperti yang baru saja dikerjakan, kurasa akan menemukan berita mengenainya. Tapi aku baru saja menyelesaikannya dan perlu berterima kasih padamu, Firdaus, atas bantuannya.”
Idris mulai berdiri sambil mengangkat koran itu. Aku seakan mengerti dia akan membawanya ke ruangan yang sepertinya akan menjadi tempat bekerja. Setelah cukup lama aku belum tahu menyebut ruangan itu sebagai apa, aku akan menyebutnya sebagai Ruang Kerja Idris.
Kami bersantai sejenak, cukup kelelahan setelah beberapa kali bolak-balik. Berlesehan di lantai, alih-alih Idris duduk di kursinya. Topik pembicaraan baru dimulai, Idris ingin bertanya dan memastikan bagaimana kabar-kabar orang yang pernah ditemui kami. Tanya-jawab menjadi terlalu panjang untuk dirincikan, dan sudah banyak yang kabarnya kami ketahui bersama.
“Lily ingin bertemu denganmu. Saat itu, dia ingin mengembalikan topimu. Katanya dia menemukannya kembali setelah sempat kehilangannya. Dia takut akan kehilangannya lagi. Aku menyuruhnya untuk menyimpan topi itu sambil berharap akan bertemu denganmu.”
“Kalau begitu, ayo ketemuan sama dia.” Idris berdiri dan mengambil jubah serta topinya. Aku turut berdiri dan kami memilih untuk berjalan menuju Winter Garden.
Setibanya, di Winter Garden, kami menemukan dua orang duduk di satu bangku. Salah satunya terlihat turun kemudian berjalan. Itu Lily dengan pakaian yang sama seperti kami dahulu bertemu dan memandang kami lebih dahulu. “Halo Lily,” sapa Idris.
“Kakak!” Lily terkejut dengan yang dilihatnya dan langsung memeluk Idris dengan memegang topi bundar yang diberikan Idris padanya.
“Ini adikmu?” tanya seorang wanita dewasa yang bersama Lily duduk di bangku itu.
“Bukan. Anda kakaknya?” balas Idris.
“Bukan juga.” Suasana pun berubah menjadi canggung. Idris berlutut pada sebelah kaki, menyamakan tingginya dengan Lily.
“Ah, kamu sudah besar rupanya. Anak Kecil sekarang berubah menjadi Gadis Cantik.” Idris memasangkan topi Lily. “Aku mendengar dari Firdaus tentang kamu yang ingin mengembalikan topi itu.”
Aku hanya bisa memandang mereka. “Tunggu, kalung itu.” Aku menyadari adanya sebuah kalung di leher Lily. Kalung itu, bentuknya sangat kukenal. Aku seolah sangat yakin itu adalah bentuk kalung yang disebutkan di berbagai berita.
“Sang Penanya,” ucap sang wanita.
Ah, benar. Sang Penanya, sebuah teror yang menghantui Kota Dingin dan beritanya menyebar juga di Kota Sukamawar. Tapi aku terdiam sejenak. “Mohon maaf sebelumnya, Anda siapa?” tanyaku.
“Namaku Adelia, panggil saja Adel. Aku adalah anggota Laboratorium Forensik dan bekerja untuk wilayah Kota Dingin.”
“Kak Adel, ini Kak Idris,” Lily menunjuk Idris, “dan ini Kak Firdaus.” Lily masih ingat ketika Idris memperkenalkan kami kepadanya.
“Idris dan Firdaus. Detektif Sekolahan?” Adelia mengenal kami, sepertinya dari nama yang disebutkan Rina.
Idris tersenyum menyeringai sambil mengangguk kemudian bertanya. “Siapa itu Sang Penanya, dan apa kaitan kalung yang dikenakan Lily dengannya?”
“Bagaimana aku meringkasnya?” Aku mencoba menjawab.
“Pembunuh berantai yang meninggalkan kalung di korbannya.” Aku bersyukur Adelia menjelaskannya dengan baik.
“Itu berarti–” Idris mulai menyadari. Lily terdiam. “Lily, kamu baik-baik saja.”
“Tidak, aku merasa sangat bodoh,” ucap Lily. “Aku masih ingat juga membawa kalian ke penjara kecil itu. Aku terlalu takut dengan apa yang terjadi di rumah dan panti asuhan, tapi pada akhirnya aku menginap lagi di Panti Asuhan.”
“Tidak, Lily. Masih banyak orang lain yang memerlukan waktu lebih untuk terbiasa dengan keadaan yang dihadapi masing-masing.”
Adelia melihat arloji di tangan kirinya. “Ayo, Lily, sudah waktunya pulang.” Dia melambai kepada Lily. Lily memandang Idris seakan belum mau berpisah tapi dia harus mendekati Adelia.
“Sebelum kalian pergi, bolehkah aku meminta nomor Anda? Barang kali nanti meminta bantuan.” Idris menyodorkan ponselnya kepada Adelia.
Adelia cukup terkejut sambil memandangku. Isyarat itu aku duga sebagai perkirannya bahwa aku akan meminta nomornya juga. Aku dengan percaya diri menunjukkan lencana polisi dan berkata, “Belum perlu.” Adelia menyeringai.
Untungnya, Lily tidak sempat melihat itu dan aku kembali menyembunyikan lencana itu. Tindakanku malah membuat Adelia tertawa kecil, “Kenapa kamu harus seperti itu?” Aku hanya diam menunduk, berusaha menyembunyikan malu. Adelia selesai memasukkan nomor ponselnya ke milik Idris.
“Lily, kita akan bertemu lagi. Jadi kapan-kapan, ke sini lagi,” ucap Idris untuk mengantar mereka pulang menuju Kota Dingin.
Sambil mengucapkan sampai jumpa, aku melihat ke sekitar dan teringat sesuatu. “Ah, aku sempat membaca di buku harianmu.” Idris sontak memandangku. “Saat Pembukaan Winter Garden, awalnya kamu mencurigai pohon akasia yang terlihat sangat tidak cocok di taman ini sebagai tempat untuk memicu ledakan itu bukan?” Aku terdiam sejenak sambil mengingat kejadian mengerikan itu. “Tapi pada akhirnya, kasus terpecahkan dengan dipicu langsung dari depan.”
“Luar biasanya, Idris,” aku berjalan mendekati pohon akasia itu, “pohon ini memang menyimpan rahasianya tersendiri,” ucapku sambil membuka pintu dari pohon itu. Idris tidak menyangka atas apa yang akan dilihatnya, aku sempat melihat matanya membelalak sejenak.
“Ke mana ini?” Idris terlihat penasaran ke mana arah tujuan dari pintu rahasia ini.
“Kamu masih ingat keluhanmu, ketika kamu sudah memperbaiki kunci rumah yang dikira ada orang melewati rumahmu hanya untuk menyeberang kota, tapi masih mendengar langkah kaki?” Idris mengangguk dua kali pelan. “Jawabannya akan didapat dengan berjalan melalui pintu ini. Sebelum itu, aku ingin menjawab pertanyaanmu. Kita menuju bawah tanah.”
Setibanya di sana, ruangan itu tidak jauh beda dari keadaan saat polisi menyegel tempat ini. “Selamat datang di Markas Winter Flower, dimana semua kegiatan mereka berlangsung di sini.”
Idris agak terkejut. “Jadi maksudmu, semua langkah kaki yang terdengar dan kukeluhkan padamu itu berasal dari sini?” Idris memandangku yang kusambut dengan anggukan sehingga dia memandang ke atas. “Berarti rumahku berada tepat di atas kepalaku sekarang.”
Sambil melihat-lihat, Idris memegang kepalanya. Aku belum tahu pertanda apa ini, entah dia kesakitan atau berusaha keras mengingat sesuatu. “Benar juga.” Idris mengepalkan tangan kanan dan menepukkan ke tangan kirinya yang terbuka sehingga menghasilkan suara tepukan yang agak bergema. “Video ayah. Seperti direkam dari sini.”
Idris memandangku yang saat itu kebingungan. “Aku kira kamu mengetahuinya dari melihat foto di dinding itu, atau sempat membaca bagian tertentu di buku harianku.” Idris mendekat. “Sebelum kita menghadapi kasus semacam kompetisi itu, aku menyalakan komputer dan dia menampilkan video ucapan dari ayah pada 5 April tepat saat 13.00. Latar belakang video itu adalah ini.”
“Berarti sebelumnya ayah sempat tinggal di sini, dan ibu mungkin mengetahuinya.”
“Karena itulah ibu memberitahukan tempat ini kepada Bagus dan menjadikannya sebagai markas,” sahutku. Aku dan Idris memandang satu sama lain, seolah memiliki pemahaman yang sama.
Aku tiba-tiba mendapat telepon. Dering ponsel terdengar agak bergema di bawah tanah itu. Melihat nama pemanggil, aku bergegas untuk menjawabnya. Setelah mendengar jelas apa yang dia sampaikan, aku menutup panggilan.
“Ada apa?” tanya Idris penasaran.
“Aku mendapat panggilan dari atasan.”
“Itu berarti sudah ada kasus menunggumu untuk dipecahkan.” Idris menyenggolku dengan sikunya. “Aku ikut, ingin bertemu dengan mereka.”
Kami kembali ke atas dan bersiap untuk pergi.
[Bersambung]
Catatan Penulis (05/02/2022)
Halo, Nafis di sini. Bagaimana kabarnya?Huft, terima kasih telah menungguku selama sebulan. Sebagaimana yang direncanakan, kemungkinan terbesar adalah aku update karya ini setiap bulannya. Jadi, aku sangat berterima kasih kepada kalian yang mengikuti dan menunggu bagian terbaru!
Bagaimana pendapat kalian tentang bagian ini? Siapkah kalian untuk membaca kasus baru di bagian selanjutnya? ;) Pantau terus, dan sampai jumpa, bulan depan mungkin.