arrow_back

IF

arrow_forward

Sabtu, 5 Februari - Kami kembali ke rumah dari Winter Garden demi mengambil mobil dan berkendara dengannya setelah aku berganti pakaian untuk menuju Kota Cahaya. Aku menyetir dan Idris duduk di kursi penumpang.

Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara kami. Hanya mendengarkan deru mesin dan kendaraan lain yang lalu-lalang. “Berapa lama baru sampai biasanya?” tanya Idris membuka pembicaraan.

“Aku belum menghitung jika dimulai dari rumahmu. Tapi terakhir kali berkendara, aku dari Markas ke Rumah bolak-balik hampir dua jam.”

Idris terkejut mendengar jawabanku. “Itu cukup cepat untuk jarak yang jauh.” Aku hanya bisa diam, mengakui bahwa itu benar.

Waktu berlalu dan kami berada di Kota Harapan sekarang. Aku dapat melihat Idris memandang ke atas melalui kaca depan mobil, yang kusadari dia memandang jembatan penyeberangan orang.

“Firdaus, berhenti!” seru Idris sambil menepuk bahuku. Sontak, aku menginjak rem dan kami berhenti tepat di bawah jembatan penyeberangan orang.

Aku terkejut sekaligus bingung dan hendak bertanya, “Ada a–”

BRAK!

Seseorang jatuh dari jembatan penyeberangan tepat di depan mobil.

“Kamu bisa menabraknya, atau mobilmu akan rusak.” Idris melepas sabuk pengaman kemudian keluar dari mobil untuk mendekat dan melihat korban dari dekat.

Aku memutuskan untuk memindahkan mobil lebih ke tepi jalan dengan harapan mengurangi kemacetan.

Setelahnya, aku turut keluar mobil dan berusaha memindahkan korban ke tepi jalan pula. Jalanan kembali mulai lancar, tapi mereka menghindari area tempat korban jatuh.

Aku memeriksa keadaan korban sambil mengeluarkan ponsel untuk panggilan darurat. “Denyut nadinya masih terasa,” gumamku.

Idris memandang ke atas sebentar kemudian melihatku. “Kamu, jaga jika ada orang dengan gelagat mencurigakan turun dari sana sementara aku akan mengejarnya ke sana karena melihatnya sekilas.” Idris berbicara dengan cukup cepat seiring dia berlari menyeberang.

Sebuah mobil hampir menabraknya. Untungnya, dia berguling dan aku keheranan bagaimana dia melakukannya. Sementara itu, aku berhasil memanggil nomor darurat. “Seseorang terjatuh dari jembatan penyeberangan orang pertama yang terlihat di Kota Harapan jika berkendara dari arah Sukamawar.”


Ambulans tiba dalam waktu yang tidak lama seiring Idris yang kembali dengan napas terengah-engah, kelelahan dalam berlari mengejar pelaku sepertinya.

“Aku gagal menangkapnya. Tapi yang jelas, dia juga perempuan dan mengenakan jas almamater yang sama dengan korban.”

Aku mendekat dan berucap, “Idris, jangan habiskan keberuntunganmu.”

“Ya, aku tahu. Bahkan kamu akan membenciku, aku yakin itu.” Nada bicara Idris agak ambigu saat itu, entah dia serius atau ingin bercanda.

Aku kembali ke dalam mobil lebih dahulu setelah berpamitan dengan orang-orang yang sedang melakukan pertolongan setelah memberitahukan ada urusan lain yang harus diselesaikan. Idris lebih lambat dariku, tapi dia kembali sambil memasukkan tangannya di saku dan memasuki mobil setelahnya. Perjalanan menuju Kota Cahaya dilanjutkan.

“Bagaimana identitas korban? Apakah kamu mendapatkannya?” tanya Idris.

“Ya, dia membawa tas kecil yang diselempangkan di bahunya. Aku melihat ke dalam tasnya dan menemukan kartu pelajar. Namanya Diana Cantika, siswi SMU Harapan.”

“Bagaimana kalau menurutmu kita datangi SMU Harapan untuk konfirmasi identitas korban dan siapa tahu mempermudah kita dalam menangkap pelaku?” Aku hanya menjawab dengan gelengan. “Kenapa kamu tidak mau?”

“Tidak apa-apa. Hanya saja, ada sedikit pengalaman buruk sebelumnya.” Aku terdiam sejenak.

“Sisi baiknya, aku bertemu Haris karena itu. Aku sangat bersyukur dia tinggal di Sukamawar sekarang, dibandingkan dengan rumahnya dulu di Kota Cahaya.”

“Baiklah, kalau begitu, antar aku ke sana. Aku bisa ke Kota Cahaya dengan taksi, atau kembali ke rumah dan mengabarimu. Jadi kamu, akan tetap menuju Markas–ujarmu dan menuntaskan kasus lainnya. Tapi intinya, apapun pilihanku, aku akan mengabarimu.” Aku memandang Idris kemudian mengangguk, memahami keinginannya.

** POV Idris **

Aku keluar dari mobil setibanya di SMU Kota Harapan dan melambai ke arah mobil, berpamitan dengan Firdaus yang harus pergi. Sesampainya di pagar, aku langsung mengincar pos satpam sebagai tujuan. “Bisakah saya bertemu dengan bagian kesiswaan? Ada hal yang ingin disampaikan.”

Aku belum melihat tanda pengenal pada satpam itu, sehingga tidak tahu namanya. Dia keluar dari pos dan mengantarku. “Silakan lewat sini, Pak.” Aku hanya tertawa kecil, sambil harus membiasakan dengan panggilan itu sekarang.

Meski tidak tahu namanya, wajahnya agak familiar saat aku mencoba mengingatnya. “Apakah Anda mengenal Wawan? Dulu beliau sempat menjadi satpam di MA Sukamawar dan sekarang menjaga Museum Maneken Lilin.”

“Saya adiknya, Toni, tinggal di sini, di Kota Harapan.” Jawaban itu agak mengejutkanku, tapi kami harus berpisah karena aku telah sampai di Ruang Bagian Kesiswaan dan Toni harus kembali ke pos untuk menjaga lagi.

Aku mengetuk pintu dan masuk perlahan. “Ada apa?” tanya salah satu guru keheranan. Aku memperhatikan pakaian guru tersebut dan melihat tanda pengenalnya, yang memberitahuku namanya Grace.

“Nama saya Muhammad Idris, warga Kebun Melati yang kebetulan sedang berada di Kota Harapan hari ini. Kami baru saja menemukan murid Anda, Diana Cantika jatuh dari salah satu jembatan penyeberangan orang. Sekarang, dia telah dibawa oleh ambulans ke rumah sakit terdekat.” Aku menunjukkan fotonya yang dimasukkan dalam ambulans tersebut dari ponsel baruku yang diberikan Dokter Ika.

“Oh tidak, aku gagal.”

Ucapan Grace membuatku bingung. “Gagal?”

“Diana sudah beberapa kali mengunjungiku di Ruang BK dan bertanya banyak hal. Tidak kusangka dia tetap melakukannya.” menahan tangisannya. “Apakah ini alasanmu tidak ke sekolah hari ini, Diana?”

“Apakah Diana mempunyai seseorang yang bermasalah dengannya?”

“Dia tidak pernah menyebutkannya secara terbuka, tapi aku berasumsi itu ada. Aku akan melihat catatanku terlebih dahulu.” Tidak lama kemudian, Grace kembali dengan membawa buku catatan dan pulpen di dalamnya.

“Sebenarnya, saya masih ada urusan yang harus diselesaikan. Jadi, jika apa yang dia curahkan bukan hal yang terlalu pribadi, izinkan saya untuk menyelidikinya. Mohon kirim ke surel ini,” aku menuliskan surelku di halaman kosong, “atau jika kesusahan kirim salinannya ke ‘Perbatasan’ Kebun Melati-Sukamawar.”

“Aku turut berduka cita atas kehilangan kalian, tapi aku harus pergi sekarang.”

** POV Firdaus **

Aku baru saja membenarkan kaca spion mobil di bagian interior ini dan dikejutkan dengan seseorang yang terbaring di tengah jalan sehingga memaksaku untuk menginjak rem lagi.

“Lagi?” tanyaku.

Insting mengarahkanku untuk keluar dari mobil. Saat mendekati orang yang terbaring, tiba-tiba aku diserang dengan kejutan listrik yang melumpuhkanku dan mulai membuatku kehilangan pandangan.

** POV Idris **

“Tidak dijawab?” Sudah beberapa kali aku menelpon Firdaus tapi tidak diangkat. Aku berpikir sejenak, kemudian berinisiatif memanggil taksi dengan tujuan Kantor Kepolisian Kota Cahaya.Sesampainya di sana, aku bergegas menuju lobi dan berkata kepada penjaga, “Aku ingin mencari salah satu anggota di sini, namanya Ahmad Firdaus.”

“Idris? Kamu masih hidup?” Semua orang yang di sana seolah terkejut atas kehadiranku. Ternyata Firdaus benar, wajah-wajah yang pernah kulihat sebelumnya di Sukamawar kembali bertemu dengan mereka.

“Apa yang kamu cari?” Kombes Pol Ahmad Isa keluar dari ruangannya dan mendekat padaku.

“Aku mencari Firdaus. Dia tidak menjawab teleponku.”

“Begitu pula kami. Tidak biasanya dia lambat seperti ini.”

Kecemasanku meningkat, ditandai dengan keringat di wajah mengucur lebih deras. “Tidak! Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Kita harus menemukannya! Aku perlu bantuan kalian.”

** POV Firdaus **

Aku terbangun dalam keadaan terbaring di atas semen yang dingin dengan tangan terikat di belakang dan masih belum dapat melihat. Merasa area mata lebih berat, aku menyadari dipasangi penutup mata yang sudah mulai longgar. Suasana sangat hening seraya aku berusaha keras melepasnya.

Aku duduk perlahan, berharap kepalaku tidak membentur apapun dan mulai menggunakan lutut untuk menjepit penutup mata agar terlepas. Aku tidak berhasil membuka seluruhnya, tapi itu cukup untuk melihat ke sekitar.

Saat ini, aku berada di dalam penjara kecil berwarna putih seiring aku memandang lebih jauh.

“Ketemu.”

“Dokter Ika?”

[Bersambung]

Catatan Penulis (12/02/2022)

Kejutan! Update lebih awal dari IF, apakah kalian menyangkanya?Sesuai judul, ini nampaknya akan menjadi awal yang cepat. Tapi, apakah berarti akhir cerita sudah di hadapan?Tunggu bagian selanjutnya, yang belum direncanakan kapan updatenya, sambil mendengar pendapat kalian dengan bagian ini dan selanjutnya. Sampai ketemu nanti.

Komentar