arrow_back

IF

arrow_forward

“Selamat datang. Lama tidak berjumpa?” Itu benar-benar Dokter Ika Pratiwi, dia menyapaku. Padahal kami baru saja berniat mencarinya dan sudah bertemu.

“Sejak kapan Anda di sini?” tanyaku memandangnya.

“Sudah cukup lama. Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” Mataku membelalak mendengar pertanyaan itu.

Aku hampir tidak bisa berkata apa-apa, sampai teringat satu hal. “Transplantasi otak. Apakah Anda melakukannya?”

“Apa maksudmu?” Dokter Ika bertanya balik.

“Idris berasumsi Anda melakukan transplantasi otak yang membuatnya koma untuk beberapa lama.”

“Aku tidak bisa memberitahumu semuanya. Pendarahan di kepala bagian belakang yang mengarah ke otak itu risikonya lebih besar dibanding transplantasi. Dia masih besar kemungkinan untuk hidup, dengan adanya itu, kemungkinan semakin membesar dan lihatlah dia sekarang. Bukankah kamu juga menyukai itu?”

Aku kembali terdiam, kemudian mendengar dering ponsel “Tunggu, ponselku berdering. Di mana dia? Aku harus mengangkatnya.”

“Kamu tidak akan bisa.”

“Ah, aku penasaran, dari siapa itu?”

“Itu Idris.” Aku tidak percaya dengan jawaban itu. “Sampaikan padanya. Kalian adalah anak ajaib.” Kepalaku dihantam cukup keras sampai membuatku kembali tidak sadarkan diri.

** POV Idris **

Aku telah berusaha untuk memanggil Firdaus sekali lagi. “Dia masih tidak menjawab panggilanku.”

“Kamu tidak akan menyerah begitu saja sepertinya.” Bapak Kombes tersenyum.

“Tunggu, siapa rekannya kemarin?” Aku berusaha keras mengingat. “Faisal?” Bapak Kombes mengangguk. “Di mana dia?”

Sepertinya karena mendengar keributan di lobi, itu menariknya untuk ke sana juga. “Kamu Faisal bukan?” Dia mengangguk. “Ikutlah denganku. Kita harus menemukan rekanmu, Firdaus.”

“Tapi ke mana tujuan kita? Aku bahkan tidak tahu apa-apa saat ini.”

“Anggap saja kamu mengantarku pulang. Perbatasan Sukamawar-Kebun Melati.”

“Oh yang saat itu. Aku tahu.”


“Jadi, kamu belum pernah menyetir sebelumnya?” Kami sudah berada di mobil milik kepolisian dimana Faisal menjadi sopir. Aku hampir tidak percaya akan pengakuannya ketika kami berbicara.

“Hanya sesekali, jika aku menangani sebuah kasus sendiri. Jika bersama Firdaus, pasti dia yang menyetir.”

“Kecepatan tinggi?” tanyaku iseng.

“Ya.” Jawaban Faisal seakan kuduga sehingga membuatku tertawa kecil.

“Bagaimana Firdaus menangani kasus selama kalian menjadi rekan?”

“Dia cukup baik. Tipe orang yang lebih suka mendatangi saksi alih-alih membawa mereka ke ruang interogasi. Sepertinya, dia beranggapan jika masih bisa, ingin menjadi teman dan menyelidiki kepribadian mereka lebih dalam dan mungkin mengetahui apakah dia memang orang yang akan berbuat jahat atau tidak. Itu yang aku lihat.”

Aku tersenyum mendengar itu. Tidak lama kemudian, ponselku berdering, menandai sebuah pesan masuk dan ternyata itu adalah surel dari SMU Harapan. “Aku akan menyelidiki beberapa hal dulu.”

Faisal tiba-tiba bertanya, “Apakah kamu tertarik jadi polisi?”

“Apakah aku bisa? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku harus ikut Paket C dan bisa saja kuliah di usia sekarang setelah menuntaskannya. Jadi, jawabanku? Tidak. Aku hanya ingin hidup sebagai warga biasa.”

“Bagaimana dengan menjadi detektif swasta?”

“Satu, sudah kubilang aku tidak mau. Aku sudah menikmati masa-masa itu, pergi ke mana-mana sambil memecahkan kasus dan tidak ingin lagi. Kedua, aku tidak tahu pendapat Firdaus, seandainya aku menjawab ya, belum tentu dia menyetujuinya, karena dulu, dia pernah tidak mengizinkanku untuk melakukannya sendirian. Lagipula, bukankah sudah ada kalian, polisi? Kenapa harus aku?”

“Sejak kasus oknum terakhir, kepercayaan masyarakat mulai berkurang. Aku sangat menyarankan hal itu dan siap membantu kalian semampuku. Aku yakin begitu juga Firdaus, terlebih aku juga mendengar betapa terkenalnya kalian di Kota Cahaya setelah pemilik Rumah Maneken Lilin itu memberi kalian gelar Detektif Sekolahan.”

Aku hanya terdiam, kemudian kembali fokus untuk memeriksa surel yang telah dikirimkan. Terdapat banyak berkas dalam lampiran.

“Bolehkah aku tahu, apa yang sebenarnya kamu selidiki?”

“Jadi, dalam perjalanan menuju ke sini, kami menemukan seorang gadis jatuh dari jembatan penyeberangan orang di Kota Harapan. Kata Firdaus, berdasarkan identitas berupa kartu pelajar yang dia dapatkan pada korban, korban bernama Diana Cantika dan salah satu siswi SMU Harapan. Aku memutuskan untuk pergi ke sana, dan menurut bagian konseling dia telah sering datang kepadanya. Dengan penyampaianku, mereka mungkin mengira Diana mengakhiri kehidupannya atas dasar kehidupannya sendiri. Sedangkan berdasarkan penglihatanku, aku melihat ada gadis lain dengan jas almamater yang sama. Ringkasnya, aku meminta catatan ketika dia berkunjung dan berharap tidak akan mengganggu privasinya.”

“Oh, jadi itu dari kamu rupanya. Kalian memiliki kesamaan di sana.” Aku hanya bisa tersenyum mendengar itu. “Jadi, apa yang kamu ketahui saat ini?

“Korban cukup sering mendatangi bagian konseling di sekolahnya. Salah satu kesempatan, dia menulis puisi dan menyerahkannya kepada bagian konseling tersebut.”

Riak air di sungai terus meluap Indah dipandang saat senja Tidakkah bisa ini menguap? Alangkah lapang begitu rasa

“Firdaus mungkin akan lebih bagus dalam membaca puisi ini, mengingat dia jurusan Bahasa.” Aku diam sejenak. “Seingatku sebelumnya kamu jurusan IPA bukan Faisal?” Dia mengangguk. “Hanya saja aku ingin memastikan ingatanku.”

Aku membaca sekali lagi dan menyadari satu hal. “Rita. Nama panggilannya. Aku harus melaporkannya balik.”

Aku membalas surel itu. “Apakah Diana punya teman yang sering dia panggil Rita? Cobalah bertanya dengannya.”

Setelah terkirim, aku melihat mobil derek di seberang jalan. “Bukankah itu mobil Firdaus?” Mobilnya seperti akan diderek. “Suruh mereka berhenti.”

Kami keluar dari mobil setelah aku menyuruh memarkirnya di pinggir jalan kemudian menyeberang. Sesampainya di sana, aku menebak mereka dari Polresta Harapan. “Apa yang akan kalian lakukan?”

“Kami akan mengamankan mobil ini karena parkir sembarangan dan sempat membuat kemacetan.”

“Tidak, Firdaus tidak mungkin melakukan itu. Mobil ini posisinya lebih di tengah jalan. Sebelumnya, dia sempat parkir juga sebentar tapi dia memastikan mobilnya berada di pinggir. Aku melihatnya ketika berada di atas jembatan penyeberangan orang.”

Aku memperhatikan mobilnya sejenak. “Kamera dasbor.” Aku menunjuk kaca depan mobil. “Aku ingin kalian memeriksanya sekarang, agar kita bersama melihat dan mengetahui apa yang terjadi dengannya.”

Kami menyaksikan bersama rekaman dari kamera dasbor itu dan mengetahui apa yang terjadi. Aku menyadari, pelaku yang menyetrum Firdaus dengan senjata listrik itu berpakaian serba putih dan aku malah teringat Lily.

“Mungkinkah dia berada di Kota Dingin?” Aku teringat penjara putih kecil dimana Lily dulu pernah berada di sana kemudian memandang Faisal. Kami kembali ke mobil dan bergegas menuju Kota Dingin.

Sesampainya di sana, aku menyuruhnya berhenti di depan terowongan menuju stasiun bawah tanah kemudian terus menelusuri. Di sana, aku menemukan Firdaus yang berada dalam penjara kecil putih itu. Aku melihat ke sekitar. “Kenapa ada gunting besi di sini?” Aku menggunakannya untuk memotong gembok sehingga dengan mudah terbuka.

Aku membangunkan Firdaus yang saat itu tidak sadarkan diri. Aku memeriksa sebentar, dan memastikan dia hanya pingsan. Tubuhnya terus kugoyangkan sambil memanggil namanya.

“Terima kasih, Idris,” ucapnya dengan suara lemah setelah beberapa saat membuka mata.

“Berterima kasihlah kepada Faisal.” Dia duduk perlahan sambil memandang kejauhan. Firdaus melambai kepada Faisal dan Faisal berisyarat dengan tangannya seolah mengatakan Firdaus tidak perlu berterima kasih.

“Dokter Ika tadi ada di sini.” Firdaus berujar sambil memegang kepalanya.

“Benarkah? Di mana dia sekarang?”

Firdaus memandang ke sekitar dan tersadar sepenuhnya. “Menghilang, lagi.”

“Tapi, transplantasi otak. Dia mengakuinya.”

“Siapa yang otaknya diganti? Idris?” Faisal mendengarnya. “Bukankah itu sangat berisiko dan sudah banyak gagal? Maksudku, banyak yang berakhir dengan kematian. Hanya saja, saat akan mati, mereka mengatakan kepala sangat sakit bagai digerogoti tikus.” Aku hanya bisa tersenyum kecil.

Ponselku kembali berdering. Itu surel lagi yang kubaca kemudian. “Kami telah menemui Rita dan dia mengakui sepenuhnya bahwa dia yang mendorong Diana dari jembatan penyeberangan orang itu. Terima kasih atas bantuanmu, dan kami telah menyerahkannya kepada polisi.”

“Sejak kapan kamu punya ponsel itu?” tanya Firdaus.

“Dokter Ika memberikannya.”

“Oh, pantas,” ucap Firdaus dengan suara pelan. Aku hanya agak bingung dengan ucapannya tersebut.

Aku kemudian membantu Firdaus berdiri perlahan. Faisal setelahnya berujar, “Ini mungkin saat yang sangat tidak tepat untuk menanyakan ini.”

Aku memandangnya, begitu pula Firdaus. “Firdaus, apa pendapatmu jika dia menjadi detektif?”

“Aku setuju,” jawab Firdaus seolah tanpa ragu yang membuatku sontak memandangnya.

“Sudah kubilang, bukan?”

Aku hanya tersenyum sambil meletakkan lengan Firdaus di pundakku untuk membantunya perlahan. “Seperti kataku sebelumnya, bawa aku pulang. Aku akan membawanya ke rumah.”

Kami memasuki mobil Faisal dan menuju rumahku. Saat aku akan membawanya masuk, Faisal kembali berujar, “Kalian sepertinya perlu menambah papan nama.” Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

Tiba-tiba, Faisal mendapat panggilan. “Aku harus kembali.” Dia bergegas kembali ke mobilnya dan hanya kami berdua yang menuju rumah.

Sesampainya di dalam rumah, aku membuat Firdaus duduk di sofa. “Apakah kamu mengetahui siapa yang melakukan ini padamu?” Firdaus tidak mau menjawab. “Kenapa, Firdaus?”

Aku menyeringai kecil. “Aku hanya mengujimu. Rekaman di kamera dasbor mobilmu memberi tahu segalanya.” Firdaus memandangku. “Oh ya, kau harus mengambil mobilmu di Polresta Harapan, Firdaus.”

[Akhir dari 01]

Catatan Penulis (03/03/2022)

Halo. Nafis di sini. IF kembali.

Hayo. Makin bingung gak, sama Dokter Ika? Di pihak mana kira-kira?

Terus kira-kira, Idris bakal ngapain nanti ya?

Komentar