Siang 1 Ramadan.
Kedatangan Rasyid kembali ke kampungnya membuatnya berpikir apa yang berbeda pada Ramadan sebelumnya dibanding dengan Ramadan pada tahun ini. Dia sedang melakukan evaluasi terhadap diri sendiri. Dia masih ingat betul bagaimana warga menunggu ketibaannya di kampung, dengan melihat beberapa orang berada di depan rumahnya.
Sejak saat itu, dia sudah melakukan beberapa hal yang memang tidak dia niatkan sebelumnya, tetapi sesuai dengan keinginannya saat kembali ke kampung. Seperti malam tadi, dia menjadi imam salat tarawih. Atau tadi pagi, dia membantu Fahreza untuk mengajarkan anak-anak membaca Al-Qur’an di musala. Segala tindakannya sejauh ini telah menjadi pertanda akan sebuah peningkatan.
Masih banyak yang sedang dia pikirkan saat ini. Seperti informasi yang dia dapat dari musala dan membuatnya sempat terkejut. Bagaimana tidak, baru kali ini dia mengetahui bahwa ibunya akan membukakan puasa warga desa dan sore nanti waktu pelaksanaannya. Terlintas di benaknya, “Bagaimana aku tidak mengetahui hal itu?”
Karena hal itu, Rasyid agak kecewa dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, hal yang sudah terjadi memang tidak bisa diperbaiki. “Mungkin membantunya sore ini adalah gantinya.” Rasyid bertekad penuh dari tadi pagi tadi. Dia begitu ingin untuk menciptakan sebuah perbaikan atas apa yang telah berlalu.
“Apa yang bisa kubantu?” Rasyid menghampiri ibunya yang sedang mempersiapkan makanan di dapur. “Ibu hari ini menjamu warga untuk berbuka, kan?”
“Dari mana kamu tahu itu, Rasyid?” tanya sang ibu.
“Nama ibu tercantum di jadwal yang ditempel di dinding musala.”
“Apa yang sedang ibu lakukan hampir selesai. Kamu mungkin bisa membantu untuk membawakannya saja nanti ke musala, saat waktu Magrib hampir tiba.”
“Nanti kita bicara lebih lanjut di sana, Bu.”