arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Sore 1 Ramadan.

“Sejak kapan Ibu melaksanakan bukber?” Rasyid mengangkat rantang di kedua tangan untuk membawanya menuju musala. Menduga kedatangan masyarakat yang akan banyak, teras rumah dirasa tidak cukup untuk menampung hal tersebut.

Ibu Rasyid terdiam menatap sang anak, tidak memahami apa yang dibicarakan. “Maksudku, ibu menyiapkan makanan untuk orang berbuka seperti ini, sejak kapan?” tanya Rasyid ulang.

“Ramadan tahun tadi. Kamu tidak pulang saat itu.”

Rasyid menarik napas berat. “Aku juga tidak menyangka akan sesibuk itu. Ramadan ini adalah permulaan. In sya Allah dari Ramadan selanjutnya, aku akan di sini sebagaimana perkataanku kepada Ibu sebelumnya.”


Detik jam menunjukkan waktu berbuka tiba. Beduk kecil di samping musala dipukul oleh Fahreza dan disambut dengan kumandang azan Magrib oleh Rasyid. Warga yang berhadir dalam undangan Ibu Rasyid mulai menyantap makanan yang telah disuguhkan.

Singkat kisah, apa yang tersisa telah dibersihkan oleh Rasyid dan ibunya. Masyarakat yang telah berpengalaman mengikuti acara tersebut, memahami tugas mereka dengan tidak berantakan saat dan setelah makan. Salat Magrib berjamaah dapat dilaksanakan langsung seusai warga menghabiskan makanan dengan hanya sedikit tersisa untuk dibersihkan. Fahreza turut membantu, namun ada seorang perempuan yang ikut turun tangan.

“Siapa itu?” tanya Rasyid kepada ibunya dengan berbisik. “Dia mengikuti Fahreza terus.”

“Itu istrinya, Zainab.”

“Sejak kapan dia menikah? Aku tidak tahu itu.”

“Ibu juga terkejut ketika dia memperkenalkan istrinya.”

“Kamu bagaimana?” Pertanyaan Ibu Rasyid sempat membuat terdiam.

“Aku sudah beritahukan kepada ibu bahwa akan kembali ke perantauan setelah Ramadan usai, bukan? Mungkin saat aku pulang nanti? Aku akan memperkenalkan juga?”

“Doakan Ibu dan Ayah panjang umur agar dapat melihatnya.”

“Amin.”

Komentar