arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Sore 2 Ramadan.

Rasyid duduk santai di ruang tamu dengan televisi menyala. Televisi kotak kecil itu rupanya masih bisa ditonton. Sambil menunggu waktu berbuka, Rasyid menyaksikan sebuah acara.

“Durjana sekali Anda!” Kalimat tersebut mengundang gelak tawa.

Para pemain sandiwara sedang berlagak di depan kamera. Mereka sedang memainkan sebuah cerita. Salah satu tokoh yang berperan sebagai anak laki-laki mengucapkan hal sarkas kepada tokoh yang berperan sebagai ibunya. Tentunya, mereka berniat untuk bercanda demi menghibur penonton di rumah maupun di studio, terutama ucapan sebelumnya.

Turut duduk di ruang tamu, Ibu dan Ayah Rasyid yang juga menonton televisi bersama. Ada alasan mengapa mereka bisa bersantai hari ini. Tepat sebelum acara dimulai, Zainab, istri Fahreza mengantarkan satu rantang yang berukuran cukup besar untuk berbuka nanti. Ibu Rasyid menyambut pemberian itu dan sudah ditaruh di atas meja makan.

“Ibu rasa ini cukup untuk kita bertiga nanti.” Beliau memberi alasan saat itu.

Sekarang, program televisi dijeda dan iklan ditampilkan. Pada kesempatan itulah, sebuah pembicaraan dimulai.

“Rasyid, sudahkah kamu memberitahukan yang kemarin kepada Ayah?” tanya Ibu Rasyid tiba-tiba.

“Apa yang kalian bicarakan?” Ayah Rasyid menyahut penasaran.

“Setelah libur Ramadan ini usai, aku akan kembali ke perantauan. Aku akan menyelesaikan kuliahku di sana, dan berniat pulang setelahnya.”

Ayah Rasyid memandang sang anak, kemudian merangkul pundaknya.

“Yang satunya.” Ibu Rasyid menggoyang paha anaknya.

“Tapi mungkin aku tidak sendirian nanti.”

“Nampaknya engkau membicarakan tentang calon istri,” kata Ayah Rasyid. “Apakah kami sudah boleh mengetahui tentangnya?”

“Belum. Aku akan memperkenalkan kepada Ibu dan Ayah nanti saja sekalian. Dibanding aku bercerita sambil menunjukkan fotonya, aku rasa lebih baik Ibu dan Ayah melihatnya langsung.” Ayah Rasyid hanya tersenyum mendengarnya.

Komentar