Sore 2 Ramadan.
Keluarga Rasyid duduk di ruang makan dengan makanan tersuguh di hadapan. Hanya sedikit waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan segala hidangan, apalagi kebanyakannya adalah pemberian dari Zainab.
“Tahun tadi, berapa kali Ibu membukakan puasa masyarakat seperti kemarin?” tanya Rasyid. Perbincangan itu terjadi untuk menunggu waktu Magrib tiba.
“Sama saja. Satu kali. Pada hari pertama, dengan niat mengharap keberkahan dan semangat yang sama seperti warga kita.” Ibu Rasyid menjawab. “Tidak hanya Ibu yang melakukan, beberapa warga lain juga melakukan pada hari tertentu, tetapi hari ini tidak ada. Jika kamu memperhatikan dinding dekat pintu samping, kamu dapat menemui jadwal orang-orang yang membukakan.”
Pembicaraan mereka terus berlangsung hangat sampai tabuhan bedug dari musala terdengar. Kurma menjadi makanan pembuka bagi mereka, disambung dengan beberapa teguk air bening dari gelas kecil berwarna biru. Keluarga Rasyid menyantap hidangan dengan lahap.
“Jadi, apakah yang kemarin itu Rasyid?” Zainab bertanya kepada Fahreza.
“Maksudmu yang bersama Ibu Ratna?” Fahreza merujuk nama ibunya Rasyid.
“Ya, aku belum pernah melihatnya sebelumnya.”
Fahreza hanya diam seraya melanjutkan menyuap makanan.
“Kamu cemburu?”
“Tentu saja,” sahut Fahreza dengan tawa kecil. “Kamu adalah istriku, dan sekarang membicarakan pria lain.”
“Aku hanya penasaran.” Zainab memberi pembelaan.
“Benar, itu orangnya.” Fahreza menjawab singkat.
“Bagaimana hubunganmu dengannya?”
“Anggap saja kami sudah berteman sejak kecil. Sama-sama dilahirkan dan besar di desa ini. Dia lebih beruntung dan mendapatkan kesempatan untuk kuliah di luar daerah.”
“Senang mendengarmu punya hubungan erat dengan banyak orang di desa ini. Permintaanku mungkin terdengar aneh, tetapi aku ingin diperkenalkan dengan mereka, kalau bisa semua.”
“Untuk Rasyid, aku melihatnya memandangmu dan bertanya kepada ibunya. Sepertinya dia sudah mengenalmu, jadi nanti ada waktunya kita akan jalan-jalan.”