Sore 3 Ramadan.
“Fahreza dan istrinya,” sapa salah satu pedagang di tengah desa tempat Fahreza dan Zainab singgah. Semakin sore hari, semakin ramai pula pasar kecil itu. Masyarakat desa sebelah turut membeli di sana. “Silakan dipilih, beragam pilihan takjil siap menemani berbuka Anda.”
“Kalian harus lebih sering-sering mampir ke sini.” Pedagang itu mendekatkan kepalanya untuk berbisik.
Zainab menyenggol Fahreza dengan sikunya mendengar perkataan tersebut. Fahreza hanya tersenyum, kemudian membalas, “Pilih apa yang kamu mau.”
“Bagaimana denganmu?”
Fahreza menatap dagangan sejenak, dan meletakkan keputusannya dengan sebuah tunjukan. “Es blewah?” tanya pedagang itu memastikan.
“Aku mau juga,” ucap Zainab melihat pilihan Fahreza. “Beli dua jadinya.”
Sang pedagang tersebut mengangguk dan mengambil dua gelas plastik yang berisikan es blewah. “Mengingat waktu berbuka masih cukup lama, mungkin bisa ditaruh di kulkas dulu supaya lebih dingin.”
Pintu rumah Fahreza telah diketuk beberapa kali dan namanya dipanggil. Tidak ada sahutan tentunya. Karenanya, tetangga Fahreza yang mendengar itu keluar dari rumah untuk melihat siapa.
“Ini rumah Fahreza?” Rasyid bertanya kepada tetangga yang melihatnya. Tetangga itu menjawab dengan anggukan.
“Ke mana orangnya?” lanjut Rasyid.
“Ke pasar mungkin bareng istrinya.”
Tangan Rasyid yang membawa beberapa makanan mulai turun. Rasyid mulai berpikir untuk mengurungkan niatnya. Sampai terbesit dalam pikiran untuk memberikan kepada orang yang melihatnya.
“Ini ada takjil untuk Anda.” Rasyid menyerahkan makanan di tangannya. “Saya titip juga untuk Fahreza.”
“Terima kasih. Nanti saya antarkan jika mereka sudah pulang.”
Rasyid mulai mundur dari teras rumah Fahreza dan bersiap untuk memasang sendalnya. “Satu lagi.” Rasyid langsung menghentikan langkahnya.
“Kamu Rasyid bukan?”
“Iya,” sahut Rasyid singkat.
“Aku hanya memastikan. Katanya kamu datang saat malam pertama kemarin. Aku tidak ada di rumah saat itu, jadi belum melihatmu sebelumnya. Lama tidak melihatmu, Rasyid.”