arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Sore 4 Ramadan.

Sepertinya sore menjelang berbuka adalah waktu bersantai yang bisa didapatkan banyak orang. Beragam kegiatan bisa dilakukan pada waktu tersebut. Ada yang berburu takjil, ada pula yang menonton televisi.

Sore ini, setelah kemarin Fahreza telah membawa Zainab untuk membeli makanan berbuka, dia bersantai untuk menonton televisi. Program acara yang dia tonton sekarang bernama Kisah Dunia. Dia tetap menontonnya meski telah tersebar pendapat di luar sana bahwa acara itu yang mengaburkan benang merah nan jelas antara fakta historis dengan fiksi ciptaan sang pengarang yang bekerja sama dengan sutradara.

Andai remot di tangannya dia sentuh untuk memindahkan saluran, niscaya dia akan menemui program Sore Seru, acara yang ditonton oleh keluarga Rasyid pada hari sebelumnya. Sore Seru memberi kejelasan bahwa yang dibawakan mereka hanyalah sebuah cerita, dan mereka membawakannya dengan canda.

Sore ini, Kisah Dunia membawakan sebuah kisah baru. Mereka menceritakan tentang sebuah kerajaan yang daerah kekuasaannya meliputi kota tempat Fahreza tinggal sekarang, bahkan menyebutkan nama-nama desa tempat sang raja sering berinteraksi dengan masyarakat.

“Cendekiasari!” Fahreza memunculkan semangat layaknya anak-anak tatkala menyaksikan sebuah kata terpampang di layar televisi. “Itu nama pemberian raja?” tanyanya tidak percaya.

Kisah terus berlanjut tentang bagaimana sang raja begitu senang membagikan makanan dan tidak segan untuk berkeliling menuju desa-desa yang telah disebutkan juga oleh pembaca narasi. Sang raja juga diceritakan sering berada bersama jamaah untuk mengikuti salat tarawih.

Saat asyik menonton, Zainab lewat di belakang Fahreza. “Zainab-istriku, giliran kita untuk menjamu masyarakat sudah dekat bukan?” tanya Fahreza kepadanya.

“Besok sore, dan bahannya sepertinya sudah cukup.”

“Berbicara tentang berbuka, aku lupa mengucapkan terima kasih kepada Rasyid atas pemberiannya kemarin.”

Komentar