Pagi 5 Ramadan.
Ruang serba guna SDN Cendekiasari pada pagi itu dipenuhi oleh seluruh siswa yang duduk bersila dengan rapi layaknya membuat barisan. Karpet sajadah berwarna merah terhampar di lantai menjadi alas. Fahreza yang mengenakan baju koko berdiri di tengah-tengah mereka. Dia sedang menyampaikan pesan-pesan kebaikan untuk diamalkan oleh seluruh yang berhadir di sana. Dapat diterapkan oleh siswa, dapat diterapkan oleh pengajar juga.
Apa yang dikatakan Azka kemarin di musala ternyata benar. SDN Cendekiasari membuat keputusan untuk menghadirkan siswa agar pembelajaran tetap terlaksana. Apa yang dilakukan Fahreza sekarang hanyalah kegiatan selingan pemberian sang kepala sekolah, dengan harapan pemberian siraman rohani ini memberikan rasa semangat kepada siswa.
Kehadiran Fahreza di SDN Cendekiasari merupakan pemenuhan undangan dari kepala sekolah. Kemarin, sang kepala sekolah menemui Fahreza di musala untuk memintanya berceramah di hadapan siswa. “Kamu bisa ceramah kan?” Pertanyaan itu hanyalah permulaan.
Setidaknya, acara yang dilaksanakan berlangsung dengan khidmat. Para siswa dan guru mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan oleh Fahreza. Dengan mikrofon di tangannya, setiap kalimat sederhana untuk dipahami tertutur dari mulut Fahreza.
Pada pagi itu pula, Rasyid sedang berjalan melihat-lihat desa. Dia berniat untuk menemukan apa yang berbeda dibanding sebelum dia pergi ke perantauan. Tidak banyak yang berubah, langkah Rasyid terhenti di depan SDN Cendekiasari. Terdengar sayup dari jauh, semakin jelas saat mendekat. Suara anak-anak yang menyahut pertanyaan dari Fahreza.
“Ah, mereka mengadakan pesantren kilat rupanya.”
Rasyid tersenyum bangga atas tindakan Fahreza. Teringat pula waktu dahulu, saat mereka juga bersekolah di sana. Pesantren kilat semacam ini seakan menjadi tradisi, tetapi baru kali ini dalam sepengetahuan Rasyid bahwa penjadwalannya bersamaan dengan sekolah biasa.