arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Malam 5 Ramadan menuju 6 Ramadan.

Seusai salat Magrib, Fahreza dan Rasyid berdiam di musala dan berbincang sebentar. Mereka membicarakan tentang sebuah kondisi yang belum pernah dialami sebelumnya. Saf belakang sekarang dipenuhi oleh siswa yang Fahreza mengenali mereka, berasal dari SDN Cendekiasari.

Di tengah pembicaraan mereka, seseorang mendatangi. “Bapak Ahmad,” sapa Fahreza sambil menjabat tangan pria itu. Rasyid turut menjabat tangannya meski wajahnya terlihat kebingungan.

“Beliau adalah kepala SDN Cendekiasari.” Fahreza memperkenalkan.

“Salam kenal, saya Rasyid. Dulu pernah bersekolah di sana juga.”

“Ada apa, Bapak Ahmad?” tanya Fahreza.

“Kemarin acara pesantren kilat di sekolah mendapatkan tanggapan bagus dari masyarakat, terutama orang tua para murid. Jadi malam ini, aku mengundang anak-anak untuk pergi ke musala mulai dari berbuka sampai selesai tarawih dan disambung dengan tadarus nantinya. Kita menyebutnya sebagai Mabit, Malam Bina Iman dan Takwa.”

Rasa penasaran Fahreza dan Rasyid terjawab dengan kedatangan Bapak Ahmad.

“Apakah itu tidak menyusahkan, terutama mereka masih anak-anak?” sahut Rasyid.

“Karenanya, kami hanya membatasi untuk dari kelas empat sampai dengan kelas enam, serta telah mendapat izin dari orang tua mereka untuk mengikuti hal ini. Kami juga membawa wali kelas masing-masing untuk mendampingi dan menjaga seandainya membuat keributan. Ditambah beberapa keringanan yang diberikan, misalnya mereka ingin pulang sebentar setelah Magrib baru kembali ke musala menjelang Isya.”

“Ini sebagai bagian dari pembinaan keagamaan yang telah diadakan SDN Cendekiasari sejak dulu, bukan?” Fahreza dan Rasyid mengangguk bersamaan.

“Saya selaku kepala sekolah yang sekarang hanya meneruskan hal tersebut. Oleh karena itu, saya berharap Anda dapat membimbing anak-anak kami lagi. Jangan segan untuk menegur mereka apabila terlalu membuat keributan dan mengganggu khusyuknya ibadah nanti.”

Komentar