arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Malam 5 Ramadan menuju 6 Ramadan.

Suasana malam di Musala Desa Cendekiasari dipenuhi dengan kekhusyukan Salat Tarawih. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh suara petasan yang meledak di luar, menggema melalui dinding musala. Para jamaah mencoba mengabaikan gangguan tersebut, tetapi tidak lama kemudian, suara tegas Bapak Ahmad terdengar, menegur pelaku keributan.

“Anak-anak, hentikan petasan itu! Kalian mengganggu ibadah orang lain!” seru Bapak Ahmad dengan berwibawa.

Seorang guru yang juga bertindak sebagai wali kelas, berdiri dengan sigap atas perintah Bapak Ahmad untuk menjaga mereka agar tidak melakukan hal yang sama.

“Baik, Pak. Saya akan pastikan mereka tidak mengulangi lagi,” ucap guru tersebut sambil mengangguk.

Setelah Salat Tarawih berakhir, suasana menjadi lebih tenang. Anak-anak dari SDN Cendekiasari yang memang warga desa itu pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Bapak Ahmad, dengan langkah yang lebar, mendekati Fahreza yang masih berdiri di halaman musala. Rasyid, teman Fahreza, baru saja pulang lebih dahulu dengan alasan mendesak.

“Mohon dimaklumi kejadian barusan. Namanya juga anak-anak. Ada yang patuh, ada pula yang bengal.” Bapak Ahmad memohon pemahaman.

Fahreza menjawab dengan senyuman lembut. “Jangan berucap seperti itu, Pak. Anda sudah mendidik mereka dengan cara Bapak sendiri, dengan membawa mereka ke musala seperti malam ini.”

“Dulu memang tidak ada petasan, tetapi dulu saya juga seperti itu. Berlarian di saf belakang, ditegur oleh orang yang lebih tua, diam sejenak, kemudian lanjut lagi,” sambung Fahreza.

“Rasanya dulu saya seperti itu juga.” Bapak Ahmad tertawa kecil.

Keusilan anak-anak yang baru saja terjadi tidak menggoyahkan hubungan kekerabatan antar mereka. Sebuah kerja sama pun diputuskan saat itu juga. Bahwa untuk waktu ke depannya, yang dapat dimulai dari Ramadan tahun depan, hal yang sama akan terus dilaksanakan apalagi selama Bapak Ahmad menjadi kepala sekolah di SDN Cendekiasari.

Komentar