Sore 6 Ramadan.
Langit senja mewarnai ufuk desa saat Rasyid dan Fahreza duduk di teras rumah Rasyid. Obrolan mereka mengalir santai, diiringi dengan angin sepoi-sepoi menerpa tubuh mereka. Sebuah topik pembicaraan kembali diangkat. Fahreza melanjutkan perbincangan tentang pengalaman Rasyid selama kuliah di perantauan.
“Jujur, aku masih belum puas mendengar ceritamu, tapi ada pertanyaan mendasar banget. Gimana sih rasanya kuliah di perantauan, Rasyid?” tanya Fahreza penasaran.
Rasyid termenung sejenak, seakan menimbang jawabannya. “Seru sih, banyak pengalaman baru. Tapi, aku lebih suka di kampung,” jawabnya.
Fahreza mengerutkan keningnya, heran. “Kenapa? Di perantauan kan banyak peluang dan kesempatan baru?”
Rasyid tersenyum tipis. “Bukan berarti aku tidak suka di perantauan. Tapi, ada beberapa hal di kampung yang tidak bisa kurasakan di sana.”
“Hal apa aja?” Fahreza semakin penasaran.
Rasyid menatap ke arah desa yang mulai diterangi cahaya jingga untuk menuju kegelapan. “Pertama, suasana Ramadan di sini jauh lebih terasa. Setiap sore, warga desa berjalan keliling sambil menyanyikan syair untuk menyambut datangnya bulan suci. Suaranya merdu dan damai, membuat hati terasa tenang.”
“Aku mengakui hal itu. Tahun ini pertama kalinya ikut berjalan bersama warga dan kedamaian serta ketenangan itu memang terasa.” Fahreza mengangguk setuju.
“Kedua, di sini ada banyak acara keagamaan yang diadakan di sekolah, seperti pesantren kilat dan Malam Bina Iman dan Takwa,” lanjut Rasyid. “SDN Cendekiasari menjadi sarana untuk membina ilmu dan menambah keimanan bagi semuanya.”
“Hal-hal yang kusebutkan tadi adalah sebuah kearifan lokal daerah sini, terutama desa kita yang tidak bisa didapatkan di sana.”
Tidak lama pasca mereka berbicara, Zainab, istri Fahreza keluar dari rumah. Dia menyerahkan kembali rantang Rasyid untuk dibawa nantinya.