arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Sore 6 Ramadan.

Rasyid sudah bersiap untuk pergi dari rumah Fahreza dengan rantang di tangan kanannya. Hari semakin menjelang gelap sehingga dia begitu bergegas. Namun, sebelum dia pergi cukup jauh, panggilan Fahreza menghentikan langkah.

“Rasyid, tunggu sebentar. Bapak Barak ada yang ingin dibicarakan.”

Rasyid berpaling dan menyadari tetangga Fahreza telah berada di terasnya. Dia juga ingin menyerahkan sesuatu kepada Rasyid, yang telah terbungkus.

“Jadi Rasyid, setelah Ramadan berakhir, kamu akan kembali ke perantauan?” Pria bernama Barak itu bertanya kepada Rasyid. Rasyid memandang Fahreza, mengharapkan tanggapan untuk pertanyaan tersebut.

“Kamu saja yang menjawabnya.”

“Betul. Kuliah saya di sana hampir berakhir, sehingga saya hanya ingin menyelesaikannya terlebih dahulu.”

“Berarti setelah itu, kamu akan pulang kampung?” tanya Bapak Barak meyakinkan.

“In sya Allah, saya akan kembali,” jawab Rasyid dengan yakin.

“Aku hanya bangga atas apa yang kamu lakukan selama Ramadan ini. Menjadi Imam Tarawih, mengajar anak kami.” Rasyid melanjutkan. “Ini hanya bagian dari saya untuk memberikan apa yang saya mampu lakukan untuk desa ini, yang menjadi niat dan cita-cita saya sekarang.”

“Apa yang saya lakukan sekarang hanya permulaan,” ucap Rasyid tegas. Perkataan Rasyid barusan memberikan secercah senyuman baik di wajah Fahreza maupun Bapak Barak. Panggilan Zainab dari pintu, membuat Fahreza harus masuk ke rumah segera, dan Rasyid pun akan pulang ke rumah juga.

Rasyid mengangguk dan membalas senyuman mereka. “Terima kasih atas semua dukungannya. Saya akan selalu ingat desa ini dan semua orang di sini.”

Rasyid melanjutkan langkahnya, menapaki jalan setapak yang mengantarnya kembali ke rumah. Yang dia bawa, terdapat hidangan lezat hasil masakan Fahreza dan Bapak Barak. Sebuah rasa hangat dan bahagia memenuhi hatinya.

Komentar