arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Sore 6 Ramadan.

Ponsel tidak terlepas dari genggaman dan pandangan Rasyid. Dirinya yang duduk termenung di ruang makan, terus memperhatikan jam yang berada di halaman beranda ponsel tersebut.dengan perasaan penuh keheranan lagi kebingungan. Bagaimana tidak, layar ponsel tersebut menunjukkan waktu yang berbeda dengan jam dinding di rumahnya.

“Ada apa, Rasyid?” Ibunya menyapa sekaligus bertanya. Beliau menata kue yang merupakan pemberian dari Fahreza dan Bapak Barak.

“Rupanya jam di hapeku masih pakai zona waktu di perantauan.”

“Kamu belum atur ulang jamnya, Rasyid?” tanya ibunya lagi. Kini sang Ibu telah duduk di hadapan Rasyid untuk berbincang.

“Bukannya seharusnya otomatis?,” jawab Rasyid. Akan tetapi, pada akhirnya, Rasyid tetap mengatur secara manual waktu di ponselnya.

“Kamu selalu lupa hal-hal kecil seperti ini,” kata ibunya dengan nada bersahaja.

Rasyid tersenyum. “Iya, Bu. Teria kasih juga telah membangunkanku untuk sahur selama ini,” sahutnya, mengingat dia pernah mengalami terlambat bangun untuk sahur sehingga mepet waktu sahur, meski semenjak kembali di kampung halaman dia sudah bangun sendiri.

“Alhamdulillah,” ujar ibunya. “Waktu memang berharga, terutama saat kita jauh dari rumah.”

Rasyid mengangguk, memandang ponselnya yang kini menunjukkan waktu yang benar. “Benar, Bu. Zona waktu bisa membingungkan, tapi yang penting kita tetap terhubung dan tidak lupa dari mana kita berasal.”

Ibunya tersenyum, menatap Rasyid dengan penuh kasih sayang. “Betul, Nak. Selama hati kita masih di sini, tidak ada zona waktu yang bisa memisahkan kita.”

Keduanya terdiam, meresapi kedamaian sore itu, hingga suara adzan Magrib terdengar, menandakan waktu yang telah dinanti. Rasyid dan ibunya pun duduk dengan khidmat, bersiap untuk berbuka, bersyukur atas waktu yang telah membawa mereka kembali bersama.

Komentar