Pagi 7 Ramadan.
Terinspirasi dari cerita yang ditonton dan dibacanya, Rasyid membuka sebuah buku tulis kecil yang dia bawa. Di sana, dia sudah menulis beberapa catatan tentang pengalaman selama di perantauan. Kini, dia akan merangkai catatan itu menjadi sebuah tulisan menggunakan ponsel dengan niat mengabadikannya.
“Di sini, di perantauan, bulan puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga,” tulisnya, “tapi juga tentang bagaimana kita, dari berbagai latar belakang, belajar untuk toleransi dalam bentuk saling menghormati.”
Kisahnya dimulai ketika dia pertama kali tiba di kampus. “Aku ingat hari pertama aku berpuasa di sini,”kenangnya dalam kisahnya. “Aku merasa asing, tapi juga penasaran bagaimana orang-orang di sekitarku akan bereaksi.”
Dialog dalam kisahnya mengalir, menunjukkan interaksi Rasyid dengan teman-teman sekelasnya. “Kamu tidak makan siang, Rasyid?” tanya salah satu temannya, dengan nada penuh keheranan. “Ah, aku sedang puasa,” jawab Rasyid dengan senyum. “Puasa? Setahuku itu berarti tidak makan dan tidak minum, bukan??” tanya temannya lagi, dan Rasyid tertawa. “Bukan, ini lebih dari itu. Ini tentang disiplin diri dan empati terhadap orang lain.”
Melalui pembicaraan sebagaimana keseharian, Rasyid menjelaskan inti dari bulan puasa kepada teman-temannya yang berasal dari berbagai suku dan agama. Kisahnya berlanjut dengan bagaimana dia dan teman-temannya melaksanakan buka puasa bersama, di mana semua orang membawa makanan dari daerah mereka masing-masing.
“Acara itu bukan hanya tentang makanan,” tulis Rasyid. “Itu tentang berbagi, tentang mendengarkan cerita satu sama lain, tentang tertawa bersama. Itu tentang toleransi dan persahabatan.”
Kisah Rasyid di ponselnya adalah cerminan dari pengalamannya sendiri, sebuah kisah yang mungkin sederhana, tapi penuh dengan pesan yang mendalam. Dia menutup kisahnya dengan harapan, “Semoga kita semua bisa menemukan keindahan dalam perbedaan, dan menjadikan toleransi sebagai penghubung kita semua.”