arrow_back

Ramadan di Kampung

arrow_forward

Pagi 7 Ramadan.

Telah selesai sebuah bab dituliskan oleh Rasyid di gawai dalam genggamannya. Dia menyimpan terlebih dahulu karena memikirkan ulang apakah harus mempublikasikannya atau tidak. Lebih tepatnya, ide lain bermunculan di kepala. Dia ingin menceritakan beberapa kisah yang berbeda.

Dia tidak ingin ceritanya terbatas hanya untuk orang di desanya. Maka, dia berniat membawakan sebuah kisah dari Desa Cendekiasari yang merupakan tempat asal. Tulisan itu akan menjadi catatan yang dapat dibaca oleh banyak orang.

Setelah memikirkan beberapa saat, Rasyid memilih untuk mengangkat cerita tradisi warga desa menyambut Ramadan.

“Tatkala hilal tampak di langit, penghuni rumah menyaksikan kedatanganmu dan menyambut engkau wahai Ramadan,” tulisnya dalam kalimat pertama. Dia mencoba sebuah gaya menulis yang baru, belum pernah dilakukan sebelumnya.

Rangkaian kerangka yang tertulis dalam buku catatan dan pikirannya, kembali dituangkan melalui tiap gerakan dalam mengetik di telepon seluler oleh tangan. “Sebuah bulan yang menyediakan waktu terbaik untuk manusia saling berbagi. Entah itu berbagi makanan, bantuan, atau ilmu yang diberikan. Bulan ini mempererat hubungan dengan Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, serta manusia yang dekat dengan kita.”

Satu bab lagi telah selesai Rasyid karang. Kini dia memikirkan tempat untuk menaruh tulisannya. Beragam media sosial tersedia, dan dia memiliki akun di sana.

Dia memilih sebuah situs web dalam jaringan yang menerima tulisan keseharian siapa saja pada akhirnya. Tulisan pendek yang telah dia ciptakan, dia gabung menjadi sebuah kesatuan utuh yang dinamai “Ramadan di Kampung”.

Dalam konsep yang terbaru, dia menambahkan tentang perbandingan antara berpuasa di kampung dengan di perantauan. Dia memperlengkap kisah yang dibawakan dengan cerita toleransi dan banyak lagi. Tanpa berharap lebih, Rasyid memberanikan diri untuk mempublikasikan tulisannya di situs web tersebut.

Komentar